Selasa, 29 Oktober 2013

Latar Belakang Kurang Menyenangkan, Picu Selami Dunia Anak




           Dulu saya hanya tahu kalau punya anak, saya hanya perlu beri makan, pakaian, dan sekolahkan. Tapi, sekarang saya paham kalau anak juga harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.”
            Haminah sampai pada kesimpulan itu setelah sembilan tahun berproses bersama Plan. Ia menyadari, anak-anak punya pikiran dan dunianya sendiri. Mereka juga punya cara khas untuk mengutarakan pendapat. Pemahaman itulah yang coba ia suntikkan pada warga di sekitarnya. 
            Haminah mengawali kiprahnya sebagai relawan desa sejak 2004 ketika Plan masuk di Desa Penimbun, Kecamatan Karanggayam. Saat itu, ada kegiatan dari Plan yang melibatkan anak-anak. Ketentuannya, anak-anak tersebut harus ada pendamping laki-laki dan perempuan. Secara tiba-tiba, ia ditunjuk Kades Penimbun untuk mendampingi anak-anak berproses.
            “Saya tidak tahu kalau itu namanya pendamping anak. Sejak itu, tiap kali ada kegiatan Plan, saya dilibatkan. Lama-kelamaan saya ditetapkan jadi pendamping anak karena saya yang sering berproses dengan mereka. Tidak ada acara pengangkatan secara formal,” tuturnya.    
            Anak-anak berproses, menurut Haminah, adalah mereka yang melakukan kegiatan, seperti mengadakan pertemuan atau membuat sesuatu, baik itu karya fisik maupun bukan. Misalnya, ketika ada perencanaan desa dan anak-anak dilibatkan, Haminah-lah yang mendampingi dan memfasilitasi mereka.
            “Kalau pembangunan di desa, perencanaannya berbeda. Jika harus menggali informasi dari orang dewasa, ya sumbernya orang dewasa. Sumber informasi dari anak-anak juga ada. Saya yang mengadvokasi pemerintah desa agar melibatkan anak-anak,” ujar perempuan kelahiran 5 Mei 1977 ini.  
            Lingkungan keluarga yang kurang paham tentang pendidikan, membuatnya putus sekolah saat kelas 2 SMP lalu menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. Latar belakang   itulah yang memotivasinya untuk menyelami dunia anak-anak.
            “Saya ingin mendapatkan ilmu dan menerapkannya setidaknya untuk anak-anak saya sendiri,” kata ibu dua anak ini.
            Ia gencar menyampaikan agar anak-anak tidak sampai putus sekolah lantas bekerja. Karena ia sudah merasakan pahit getirnya. Kendati demikian, ia tidak pernah menyesali salah satu fase dalam perjalanan hidupnya itu. Tekadnya cuma satu, jangan sampai anaknya bernasib sama sepertinya.       
            Didorong oleh Plan, ia pun menyambung rantai pendidikannya dengan mengambil Kejar Paket B pada 2011 yang dilanjutkan dengan Kejar Paket C. Ini salah satu caranya pula untuk memacu anak-anaknya agar tetap semangat sekolah.
            Selain sebagai pendamping anak dan ibu rumah tangga, Haminah juga aktif di berbagai forum dan organisasi. Ia menjadi sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Ia ditugasi sebagai pemberdaya masyarakat desa dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Ia juga tergabung sebagai Tim Komite Sekolah di SDN Penimbun.
            “Saya malah tidak masuk PKK. Biar saya tidak ada di mana-mana. Biar ibu-ibu yang lain juga bisa berperan secara merata,” ucapnya sembari tersenyum.   
            Dinilai vokal dalam menyampaikan aspirasi anak-anak, ia pun dimasukkan ke bidang advokasi dalam Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Penimbun. Dan pada tanggal 25 Februari 2013 ia mendapat amanat menjadi Sekretaris Umum Forum KPAD Kabupaten Kebumen. Keterlibatannya di KPAD membuatnya merasa lebih paham dan fokus pada upaya perlindungan hak anak. Salah satunya adalah hak untuk memberikan pendapat.
            “Kini, kalau mau melakukan apa-apa, saya harus diskusi dengan anak-anak. Apalagi suami saya tidak di rumah, mencari nafkah di Jakarta. Jadi, segala keputusan harus dipertimbangkan dengan anak-anak,” jelasnya.
            Ia juga mengaku kalau pelan-pelan di dalam dirinya terjadi perubahan cara pandang terhadap hak anak.
            “Sebelum 2004, saya bergaul dengan orang-orang kota. Saya berpikir bahwa untuk mengasuh anak harus punya banyak duit. Untuk menyekolahkan anak, misalnya. Dari dulu saya berpikir sekolah itu penting. Kalau punya anak, jangan sampai tidak sekolah.”
            Haminah sebenarnya menyesal bukan belakangan ini. Kala memutuskan keluar dari kelas 2 SMP dan bekerja, ia sudah menyesal. Oleh karena itulah, saat kerja di Jakarta, ia pun gigih membiayai sekolah adiknya sampai lulus SMK.
            “Pandangan saya bahwa untuk menyekolahkan anak harus punya duit banyak, sedikit demi sedikit terkikis. Kalau kita tidak punya uang banyak, sementara niat kita kuat, Insya Allah ada jalan. Saya yakin kalau kita berusaha jadi orang bermanfaat buat orang lain, pasti ada yang membalas,” pungkasnya mantap.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar