Minggu, 27 April 2014

Potret Pendidikan Masa Kini (2)


Sekolah: Ladang Subur Anti Kekerasan?

Sekolah ternyata bukan ruang steril kekerasan. Tepatlah kiranya ungkapan itu untuk menggambarkan “tragedi” sekolah JIS belakangan ini. Dikatakan “tragedi”, sebab terjadi di sekolah, sebuah komunitas yang selama ini mestinya menjadi tempat paling aman di mata orang tua, masyarakat, terlebih bagi siswa itu sendiri.
Sekalipun demikian, tragedi JIS bisa terjadi di sekolah manapun termasuk sekolah anak-anak kita. Apalagi berhadapan dengan sekolah yang tertutup, kesempatan terjadinya perilaku kekerasan/ intimidatif semakin terbuka lebar. Ruang pergaulan yang terkesan bebas dan komunikasi yang lepas acapkali mudah meminggirkan / menyembunyikan korban kekerasan dengan stigma “culun”, “cemen”, “kenyi” atau “tipis.”
Kekerasan memang tidak selalu identik dengan kekerasan seksual. Dalam prakteknya perilaku kekerasan di sekolah melibatkan banyak aspek baik dari segi pelaku, bentuk, dan skala kejadian.
Pelaku kekerasan
Istilah “orang dewasa” pelindung“ kiranya tidak senantiasa relevan. Banyak kesempatan justru menunjukkan perilaku kekerasan dilakukan orang dewasa kepada anak-anak.
Di dalam keluarga hal itu bisa dilakukan orang tua kepada anaknya sendiri atau kakak kepada adiknya. Praktek kekerasan yang dialami seseorang acapkali menjadi benih subur seorang anak memiliki jiwa penindas atau intimidatif terhadap orang di sekitarnya apabila terbuka peluang untuk itu.
Di sekolah bentuknya bisa lebih beragam mulai kekerasan yang dialami guru oleh atasan sampai guru senior kepada guru baru (novice teacher). Motivasinya juga beragam entah atas nama ketaatan, perkenalan komunitas, perploncoan, atau lemahnya control lembaga, dan ketiadaan kultur yang jelas di sekolah tersebut. Guru-guru ini, karena keterbatasan status dan pilihan terpaksa menikmati saja perilaku tidak adil yang diterimanya.
Di kalangan siswa tindakan kekerasan biasanya dialami dari guru/ karyawan terkait otoritas/ kewenangan yang dimiliki, siswa “baru” oleh seniornya, atau siswa tertentu dijadikan korban kekerasan karena keterbatasan yang dimilikinya (autis, cacat fisik, dianggap asosial dsb). “Ledhekan” atau “cemoohan” biasanya justru menjadi guyonan yang seolah menghibur banyak orang tanpa peduli betapa pilu rasa hati yang menjadi korban.
Bentuk kekerasan
Bentuk perilaku kekerasan bisa terjadi mulai yang samar sampai sifatnya fisik/ memberikan luka mendalam. Dalam bukunya Bullied teacher bullied student, Parson, L (2005), menjelaskan beberapa bentuk kekerasan yang sering dialam siswa di sekolah seperti:
Pertama, kekerasan verbal. Perilaku ini dilakukan guru melalui penamaan atau stereotip tertentu kepada siswa yang bernada seksis, rasis, kelemahan mental, atau pun homofobik. Misalnya ungkapan menyebut siswa “bodoh”, “banci”, “china”, “lesbian”, “homo” dan sebagainya. Sekalipun sifatnya verbal, namun ungkapan demikian bisa membekas secara mendalam dalam diri siswa, dan tidak mustahil bisa memberikan pengalaman luka batin yang akan dibawa siswa tersebut selama siswa pendidikannya.
Banyaknya pelecehan seksual secara verbal dalam berbagai kesempatan lebih dikarenakan adanya penyalahgunaan wewenang yang sangat dominan/ tidak terkontrol dari pelaku terhadap si korban daripada persoalan persoalan seksualitas itu sendiri.
Kedua, kekerasan fisik. Perilaku ini lebih mudah ditemukan bukti fisiknya dari para korban. Misalnya memukul, menendang, meludah, menjambak, dan melempar. Ada perbedaan batasan manakah yang sesungguhnya telah dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan mana yang bukan. Namun demikian, pada prinsipnya sejauh perilaku itu di luar batas kewajaran atau sudah dikategorikan “keras” maka tidak ada alasan untuk menolak hal itu merupakan praktek konkrit dari kekerasan fisik.
Ketiga, kekerasan psikologis. Kekerasan ini dilakukan misalnya dalam bentuk teriakan, berbicara secara kasar, menggertak, melempar atau menyobek pekerjaan siswa, mengacam siswa dengan hukuman, vonis nilai ulangan, mengacuhkan, tidak peduli, atau melecehkan pendapat/ pertanyaan siswa.
Bentuk kekerasan psikologis semacam ini memiliki efek yang tidak kurang negatinya dibandingkan dua kekerasan di atas. Sikap kecewa, rasa frustasi dan bersalah, serta luka batin pada diri korban acapkali juga sukar dikendalikan. Banyak orang tua akhirnya harus melibatkan pihak profesional/ psikiater untuk membantu para siswa ini dalam proses pemulihan dirinya.
Dan keempat, kekerasan atas nama profesionalisme. Bentuk-bentuk kekerasan ini ditunjukkan guru melalui penilaian hasil pekerjaan siswa yang tidak adil, penerapan disiplin yang tidak relevan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, menghambat siswa untuk mendapat hak pengajaran yang sama, memanipulasi data siswa demi keuntungan diri, melakukan intimidasi terhadap orang tua karena hambatan bahasa/ social ekonomi sehingga orang tua tidak bisa menyampaikan masalahnya kepada pihak sekolah, dan sebagainya.
Skala kekerasan
Skala kekerasan terkait sejauhmana pihak-pihak terlibat dalam perilaku kekerasan yang dimaksud. Bentuk yang paling sederhana tatkala kekerasan itu hanya melibatkan satu atau dua siswa secara terbatas dengan efek masalah yang juga tidak mengawatirkan pihak korban.
Di samping bentuk individual, efek kekerasan juga bisa memengaruhi kelompok tertentu secara lebih luas. Di samping skala yang lebih luas korban kekerasan mulai menunjukkan keberanian secara kelompok untuk melawan. Namun demikian, persoalannya akan lebih “berat” tatkala satu rombongan besar/ kelas/ angkatan kelas mengalami kekerasan yang sama. Ketika reaksi ini mulai merata secara massif maka gerakan perlawanan para korban kekerasan mulau muncul mengalahkan tekanan kekerasan yang ada.
Penutup
Dengan demikian kirannya sekondusif apapun klaim kita semua atas kondisi dan situasi sekolah kita, kiranya kita tetap perlu waspada terhadap persoalan ini. Misalnya dengan secara sadar mendesain pendidikan anti kekerasan di sekolah terhadap siswa, khususnya pendampingan yang lebih konkrit kepada para korban.
Secara sistematis, membuat gerakan-gerakan yang lebih praktis dan bisa menjadi acuhan para siswa tentang pentingnya gerakan anti kekerasan melalui cara-cara yang kreatif dan mendorong keberanian para siswa untuk berani menjadi saksi atas perilaku kekerasan yang pernah/ mungkin akan mereka alami pada masa mendatang.
Jika seluruh komunitas sekolah peduli dan menjadikan gerakan anti kekerasan sebagai kebutuhan bersama maka apa yang sering dirindukan para siswa/ alumni bahwa sekolah adalah the second home mereka, menjadi lebih dekat dengan cita-cita daripada sekedar utopia belaka.

Thomas Wibowo guru sma kolese kanisius  http://edukasi.kompasiana.com
27 April 2014 | 

Jumat, 25 April 2014

Potret Pendidikan Masa Kini (1)


Gambaran umum kehidupan masyarakat masa kini, banyak kemajuan yang dirasakan, baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi ataupun komunikasi mulai dari yang sifatnya tradional hingga yang paling canggih. Di balik semua itu banyak pula dilihat, dirasakan dan didengar orang tua (langsung/tidak langsung) telah menyatakan keluhan terhadap keperihatinan terhadap anak-anaknya.
Keluhan-keluhan tersebut meliputi ;
1)    Pekerjaan terbatas dan tenaga kerja yang melimpah ruah, pengangguran terjadi di mana-mana, premanisasi semakin menjadi-jadi dari kalangan kaum muda.
2)   Pergaulan bebas sudah tidak bisa dibatasi.
3)   Model-model pakaian yang memicu kepada gairah seks.
4)  Pergaulan anak dan orang tua kurang memperhatikan moral, akan tetapi lebih mementingkan kepada materi dan keilmuan.
5)   Persoalan agama hanya merupakan simbol-simbol ritual, sedangkan amaliyah dan syari’atnya kurang dikerjakan. Sehingga umat beragama nyaris kehilangan identitas keagamaannya.
Di samping persoalan di atas, pendidikan juga tidak lepas dari persoalan orang tua, di sana sini terkandung beban yang sangat berat guna membina generasi muda yang memiliki “BOM” (Basic of Material). Banyak orang tua yang tidak bisa menyesuaikan harga (pembiayaan) pendidikan yang cukup mahal.
Berbicara tentang pendidikan, tidak hanya berbicara tentang ilmu dan keterampilan, akan tetapi juga menyangkut soal akhlak (moral). DR. Miqdad Yeljen mengungkapkan : “Persoalan Akhlak, cukup mencolok dengan semakin bertambahnya angka kriminilitas dan berbagai macam bentuk penyimpangan moral. Seperti ; pemalsuan, penipuan, pencurian, pengkhianatan, tidak loyal pada janji dan tidak pula komitmen dengan hal-hal lainnya
Contoh lain adalah merajalelanya mabuk-mabukan, pencandu obat-obatan terlarang, perzinaan, pelanggaran terhadap kehormatan dan membudayanya perkataan kotor dan cacian, penyimpangan-penyimpangan moral ini semakin hari semakin bertambah dan bukan malah menurun (berkurang)
Belum lagi kita bicara tentang pergolakan sosial, politik dan peradaban. Kesemua sangat berpengaruh pada prilaku, perbuatan, sikap dan sudut pandang berpikir dalam diri individu dan kelompok yang berdalih kepentingan orang banyak.
Semua peristiwa atau skandal-skandal yang berkembang di masyarakat erat kaitanya dengan keberhasilan pendidikan. Betapa banyak lembaga-lembaga pendidikan, baik secara pormal (Pendidikan sekolah) ataupun pendidikan Non Formal (Pendidikan luar Sekolah), dalam pendidikan luar sekolah semakin hari tumbuh dan berkembang majelis-majelis ta’lim, bagaikan jamur di musim hujan. Akan tetapi semua itu belum mampu memecahkan atau menemukan solusi terbaik untuk pembinaan umat (generasi) yang lebih baik.
DASAR PENDIDIKAN DI NEGARA INDONESIA
Sehubungan dengan kehendak mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan UUD’45 pasal 31 ayat 1 dan 2, menyatakan;
1.       Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
2.       Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Realisasi dari UUD’45 ini lahirlah UU RI tentang pendidikan nasional. Berdasarkan UU Republik Indonesia No. 22 Th. 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bab II pasal 2 Perdidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Ripublik Indonesia Tahun 1945, dan pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang dijadikan-Nya paling sempurna di antara makhluk lainnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?

Dari ayat ini jelas memberikan gambaran bahwa manusia yang dijadikan Allah dengan sebaik-baik bentuk akan berbalik kepada bentuk yang serendah-rendahnya. Artinya jika kejadian yang sempurna bagi manusia itu bila tidak dipelihara dengan sebaik-baiknya, maka manusia tersebut akan menjadi tidak baik. Untuk memelihara kebaikan bentuk tersebut, maka diperlukan latihan dan kebiasaan-kebiasaan untuk berbuat baik, selalu memperhatikan dirinya agar tidak melakukan perbuatan yang merusak bentuk kejadian yang baik.
Memahami akan ayat tadi, maka manusia dituntut untuk memelihara bentuk kejadiannya yang sempurna itu. Salah satu alternatif yang menjadi pokok perhatiannya adalah melalui “pendidikan”. Selanjutnya Allah memperingatkan :
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran .” QS Al ‘Ashr 1-3)
Dalam surat ini terkandung maksud bahwa manusia memerlukan pendidikan, misal dalam lafadz ‘manusia”. Disebutkan dalam al-qur’an sebanyak 65 kali, seluruhnya untuk tujuan-tujuan pendidikan yang disertai dengan seruan kepada kebajikan dan pencegahan dari yang mungkar. Semua itu disampaikan dalam bentuk peringatan tentang penciptaannya atau dengan mengemukakan fitrahnya, atau menjauhkannya dari penyelewengan-penyelewengan, keangkuhan dan kekufurannya, atau dengan menggambarkan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya serta pendidikan yang diberikan Allah kepadanya.
Memahami akan makna pendidikan, kiranya perlu direnungkan surat pertama yang diturunkan Allah untuk melihat sikap yang jelas sisi kebaikan dan keburukan manusia, yakni :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu).” (QS Al ‘Alaq 1-8)
Pada ayat ini terkandung maksud bahwa manusia dididik untuk memperhatikan Allah atau selalu menyebut nama Allah, dan memperhatikan pelajarannya, membuka mata hati untuk mengerti semua ciptaannya dan memahami hakikat kejadiannya..
Telah digambarkan bahwa Allah telah menciptakan dunia dan akhirat agar manusia untuk menjadi tempat tinggalnya, sebagai khalifah dan mengerti bahwa akan ada suatu hari perhitungan atau hari pertanggung jawaban. Bagi mereka yang berpikir sudah barang tentu akan selalu waspada dan mawas diri agar setelah tiba masa hari perhitungan tidak mendapat kesulitan.
Upaya menyelamatkan manusia dari serendah-rendahnya derajat manusia, maka manusia memerlukan agama dan pendidikan. Agama yang benar adalah yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan untuk memahami agama itu maka manusia memerlukan pendidikan. Pendidikan adalah pertolongan orang-orang yang bertanggung-jawab atas perkembangan anak agar mereka menjadi dewasa. Semua kebaikan memang tidak bisa kita harapkan karena banyaknya pengetahuan atau resep-resep pendidikan. Ketidak tahuan adalah merupakan penyakit yang paling mudah disembuhkan, akan tetapi membentuk pribadi yang sempurna adalah amat sulit.
Pembentukan perilaku seseorang sangat ditentukan oleh lingkungnan terbesar, yakni Rumah tangga, Sekolah dan masyarakat. Ketiga-tiganya harus berjalan selaras dan seimbang. Di lingkungan rumah tangga pendidikannya berjalan dengan baik dan benar, juga di sekolah sudah terprogram dengan baik, namun di lingkungan masyarakat tidak baik, maka pendidikan perilakupun tidak menjadi sempurna. Sebaliknya di lingkungan masyarakat baik dan juga disekolah baik, akan tetapi di lingkungan rumah tangga tidak terurus dengan baik , maka perilaku yang diharapkan juga tidak akan muncul.
,,,,,,,,,,,,,bersambung................

Selasa, 22 April 2014

Perlindungan anak adalah tanggungjawab bersama


Masalah anak adalah masalah bersama baik dari tingkat keluarga, lingkungan, pemerintah desa dan KPAD. Masalah anak bisa muncul kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja. Dengan munculnya isu dan permasalahan yang menyangkut pelanggaran terhadap kekerasan terhadap anak, penting kiranya kita duduk dan diskusi bersama tentang mekanisme penanganan kasus anak yang secara aturan memang berbeda dengan penanganan kasus anak. Diantaranya mengacu pada kode etik dengan merahasiakan, tidak mengekspos pada orang lain dan melakukan pelabelan terhadap anak baik yang menjadi pelaku maupun korban. Demikian dikatakan Mamun (Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD Child Alhabib) Desa Logandu Kecamatan Karanggayam, pada acara diskusi Penanganan Kasus kekerasan anak di Sanggar Anak Child Alhabib pada hari Sabtu, 15 Februari 2014.
Acara diskusi yang dihadiri oleh pengurus KPAD, perangkat desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan narasumber Kepala Desa Logandu dan Ketua Umum Forum Kelompok Perlindungan Anak Kabupaten Kebumen itu membahas tentang Pentingnya Perlindungan Anak berbasis masyarakat terkait dengan maraknya issu kekerasan terhadap anak pada akhir-akhir ini. 
Kepala Desa Logandu (Sarlan) dalam paparannya menyampaikan bahwa, Menyikapi permasalahan yang akhir-akhir ini muncul ditengah-tengah kita yakni pergaulan anak yang sudah semakin bebas, penggunaan media komunikasi yang kebablasan menjadi keprihatinan kita bersama. Disisi lain masyarakat sudah mulai apatis dan lemahnya kepedulian sosial akan menambah permasalahan baru kalau tidak segera ditangani bersama. Kordinasi dan saling komunikasi antara pengurus KPAD sebagai lembaga perlindungan anak didesa dengan perangkat desa dan masyarakat merupakan media yang tepat untuk pencegahan tidak kekerasan anak.
Sosialisasi Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak harus selalu dipublikasikan baik melalui pertemuan Desa, pertemuan RT, bahkan saat ada orang hajatan, tegasnya.
Sedangkan Mardiadi (Ketua Forum KPAD Kebumen) dalam paparannya menyampaikan materi tentang issu anak dan bentuk pengabaian terhadap anak sekaligus sosialisasi Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 3 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Diakhir diskusi disepakati beberapa rekomendasi:
1.                      Komunikasi dan koordinasi dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kebumen sebagai pemangku kewajiban terkait dengan perllindungan anak ditingkat kabupaten
2.                      Koordinasi dengan LBH Pakhis apabila terjadi kasus anak.
3.                      Sosialisasi lanjutan ditingkat desa dan lingkungan (RT/RW)
4.                      Mengalokasikan anggaran desa untuk penyelenggaraan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan desa.
5.                     Menggiatkan promosi perlindungan anak melalui berbagai media yang ada didesa.
Dengan semboyan, MEMBANGUN ANAK, MEMBANGUN PERADABAN BANGSA, semoga langkah baik ini bermanfaat bagi kita semua, utamanya anak-anak kita dimasa mendatang.