Rabu, 30 Oktober 2013

Aktivis Desa Pembela Hak Anak dari Pesuningan


Di sela kesibukan bermacam aktivitasnya, sosok perempuan ini masih menyempatkan waktu untuk memperhatikan pentingnya kedekatan buah hati dan suaminya. Tiap hari ibu rumah tangga berusia 43 tahun ini selalu menyempatkan waktu untuk bisa makan bersama dengan suami Kusnadi (48) dan anak ketiga, Diana Kusumawati, remaja 13 tahun.

Menurut perempuan berjilbab itu, waktu makan bersama menjadi waktu berkualitas (quality time) untuk saling terbuka, berbagi, dan bermusyawarah antaranggota keluarga. Meskipun, dia masih merasa ada yang kurang. Pasalnya, dua dari tiga putranya kini bekerja dan tinggal di Jakarta. Sehingga, di rumah hanya anak ketiganya yang kini bersekolah di SMPN 2 Prembun.

Menyebut KPAD Pesuningan, Kecamatan Prembun, Kebumen, tak bisa lepas dari sosok satu ini. Adalah Tri Sugini, sosok perempuan itu. Aktivis yang ikut membidani lahirnya KPAD Pesuningan mulai dari saat merintis hingga mendorong terbentuknya Peraturan Desa (perdes) sebagai bagian penopang keberadaan KPAD.

Menjalankan aktivitas sehari-harinya itu, bu Gini--panggilan akrab Tri Sugini ini hanya berujar, "Saya ingin mengabdi dan menolong sesama manusia selama masih bisa."

Selain sebagai pengelola KPAD Pesuningan. Tercatat, bu Gini tiap hari pada Senin hingga Kamis juga aktif mengajar di POS PAUD Multi Rahayu Desa Pesuningan mulai pukul 08.00 hingga 10.00 WIB. Setelah itu, bu Tri bisa melejit ke mana-mana dengan sepeda motor Mio-nya. Entah ke balai desa Pesuningan atau Hotel Candisari, Karanganyar atau ke pusat kota Kebumen. Tentunya untuk urusan-urusan sosial dan sebentuk pengabdian-pengabidan lainnya.

"Meski jarang di rumah kalau pagi hingga siang, saya ingin selalu bisa bersama keluarga saat makan malam dan sarapan pagi," tutur perempuan kelahiran Kebumen, kelahiran Kebumen, 06 Juni 1969.

Julukan aktivis desa disematkan pada sosok perempuan ini bukan tanpa alasan. Seabrek kegiatan yang digelutinya menjadi bukti. Antara lain, Kader Penanggulangan Diare Dinkes Kabupaten Kebumen; Kader TB, Aisyiah Muhammadiyah Kebumen; sekretaris PAUD Multi Rahayu Desa Pesuningan; Ketua Kelompok Wanita Tani Ternak "Cemani"; dan Pengurus Posyandu Ari Lestari. Terakhir, Tri Sugini terlibat dalam pembentukan Forum KPAD Kabupaten Kebumen di Hotel Candisari, 8-9 Februari 2013 silam.

Bu Gini mengungkapkan, sebagai pegiat yang berkecimpung pada isu anak dan pembangunan desa, keberadaan KPAD sangat diperlukan sebagai upaya pemenuhan hak-hak anak di desa. Selain itu, juga sebagai upaya preventif menanggulangi tidak terpenuhinya hak-hak anak. "Di desa ini masih banyak orang tua yang mengolok-olok anaknya. Juga guru yang terkadang memukul muridnya, anak memalak anak lain, dan sebagainya, "ujar Tri Sugini prihatin.

Sugini menyadari, segala kekerasan yang menimpa anak baik itu fisik maupun nonfisik itu bisa berdampak pada psikis si anak. Anak yang menjadi korban bisa mengalami trauma berkepanjangan bila tak ada kesadaran orang tua untuk menyembuhkannya. Untuk itu , dia dan pengurus tak henti-hentinya selalu menyosialisasikan hal-hal itu melalui forum-forum pengajian, pertemuan RT RW, dan forum informal lainnya.

"Alhamdulillah, sekarang sudah jarang orang tua yang olok-olok atau memukul anaknya," kata Sugini yang menyatakan bahwa dirinya belum pernah mengolok-olok anak atau memukul ketiga anaknya. Tiga anaknya itu yakni Wawan Kusuma (25), Bayu Kusuma (23), dan Diana Kusumawati (13).

Dia sendiri bersama relawan lain ikut pelatihan-pelatihan seputar pendirian KPAD yang diselenggarakan oleh Plan Indonesia PU Kebumen di Pesuningan sejak tahun 2002. Saat ini, dari sekitar 400 desa di 46 kecamatan  di Kebumen, baru 15 desa yang membentuk KPAD.

"Dari ikut pelatihan Perlindungan Anak itu, hati kecil saya bilang, hal itu benar. Anak-anak harus ada perlindungan dan kasih solusi ketika ada problem yang menimpanya," kata istri dari Kusnadi ini.

Dahulu sebelum diberi nama KPAD seperti sekarang ini, sering berubah-ubah nama. Mulai dari konfrensi perlindungan anak (KPA), kelompok pemerhati anak (KPA). "Pokoknya gonta-ganti namanya," terang dia menceritakan proses terbentuknya nama KPAD.

Keanggotaan KPAD di desanya terdiri dari perwakilan Pemerintah Desa (Pemdes), tokoh masyarakat, tokoh agama, dan bidan desa. Sejak terbentuk pada 2010, KPAD mulai mendapat bantuan dana dari Pemdes melalui dana Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp 1 juta.

Saat ini, menurut bu Gini, kendala yang masih dihadapi yakni perihal pernikahan dini. Tak memungkiri, hal itu dikarenakan faktor pergaulan bebas di kalangan remaja yang mulai menggejala. "Remaja dan orang tua di sini bisa saja sudah mengerti. Nah, yang dari luar desa yang belum ada KPAD kan tidak tahu," tuturnya. Hal itu, menurutnya juga dipengaruhi masih banyaknya anak yang pacaran di bawah umur.

Selain itu, upaya yang terus dilakukannya yakni sosialisasi dan saling mengingatkan kepada orang tua melalui HP. Misalnya, pesan kepada orang tua agar tidak lupa selalu mengontrol dan mengawasi aktivitas anaknya. Bisa juga melalui HP si anak. "Mungkin ada film pornonya atau tidak dan sebagainya. Kalau bukan kita yang ingatkan, siapa lagi? Anak-anak makin pintar. Intinya ini demi masa depan anak," ujarnya. 

 

Ke London dengan ‘Kereta’ Organisasi



          

       
 
“Kalau menunjukkan saya mampu, itu mudah. Tapi, kalau memampukan orang lain, itu sangat sulit. Dan, saya ingin memampukan orang lain.”
            Kalimat itu tercetus dari mulut anak muda berperawakan kecil. Kata-katanya mengalir deras bagai rentetan mitraliur. Tempo bicaranya cepat. Sorot mata dan nada bicaranya menunjukkan kesungguhan. Tempaan hidup yang keras tampak sekali membentuk karakternya.   
            Anak muda itu bernama Agung Widhianto. Ia lahir dari pasangan Widhartono dan Mulyati pada 31 Mei 1994. Ayahnya penarik becak. Ibunya pernah lama sebagai penjual makanan di Stasiun Kebumen. Sejak kecil, Agung dididik untuk tidak larut dalam keprihatinan ekonomi.
            “Ayah saya selalu bilang kalau saya harus bisa jadi orang hebat. Untuk itu, saya harus belajar bagaimana menjadi orang yang susah agar saat sukses kelak tidak meremehkan mereka yang susah,” ungkap peraih beasiswa bidik misi ini.
            Pengagum Bung Karno ini benar-benar ingin menunjukkan pada semua orang bahwa kemiskinan, keterbelakangan, dan keterpurukan bukanlah hambatan berarti untuk menggapai apa yang diinginkan.
            “Modal kesuksesan adalah kesungguhan, kerja keras, dan keyakinan dalam berdoa,” tegas pehobi puisi ini.
            Agung memang sedang membangun tangga kesuksesannya. Pada Februari 2013, ia berangkat ke London sebagai anggota Komite Pengarah Muda (Youth Steering Commitee) Plan Internasional. Sebagai perwakilan Asia, ia akan bertemu dengan enam pemuda lainnya dari Benua Eropa, Amerika, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka membentuk rapat kecil dan membahas agenda untuk member assembly pada bulan Juni 2013 di Belanda.
            “Saya membawa isu pluralisme dan multikulturalisme. Sampelnya adalah anak muda Kebumen. Saya banyak membekali diri saya dengan data tentang anak muda Kebumen. Intinya, anak muda Kebumen sebagai bagian dari anak muda Indonesia, itu berbeda dengan anak muda di belahan dunia lainnya. Jadi, kebutuhannya pun akan berbeda.”
            Pencapaian Agung tidak diraih dalam sekejap mata. Ia perlu menapaki jalan berliku untuk sampai pada titik sekarang. 
Sejak kecil, Agung telah akrab dengan kehidupan di Stasiun Kebumen. Sang ayah menyewa sebuah kios dagang di situ. Agung banyak diajari ayahnya untuk membaca dan menulis. Ia pun meraup berupa-rupa pengetahuan dari ragam orang yang ditemuinya, di antaranya adalah jurnalis. Pertemuan dan bincang-bincang itu rupanya membekas kuat dalam dirinya. Satu hal yang memantik Agung bercita-cita sebagai reporter ulung.    
Sewa kios yang kian mahal, ayahnya pun memutuskan untuk menjadi tukang becak. Agung diminta belajar sambil menunggui becak. Ia bisa beristirahat kalau ayahnya pergi mengantarkan penumpang.
Sejak kelas 6 di SD Negeri 5 Panjer hingga kelas 9 di SMP Negeri 3 Kebumen, Agung membantu ibunya jualan makanan di Stasiun Kebumen. Dia jualan tiap pagi sebelum berangkat sekolah dan sore seusai bantu ibunya belanja bahan makanan dan mengolahnya.
Pada masa SMP, Agung mulai aktif di organisasi. Saat kelas 7, ia terpilih menjadi Ketua Regu Pramuka. Di kelas 8, ia menjadi Ketua Dewan Pramuka. Posisinya di Pramuka naik terus hingga sekarang.
Perkenalannya dengan Plan diawali dengan mengikuti pertemuan anak tingkat kabupaten di Benteng Van Der Wijk, Gombong. Saat itu Agung masih duduk di kelas 8 SMP. Selama kegiatan, ia sangat aktif dan berani berargumen. Oleh panitia, ia pun diajak bergabung dalam Komunitas Peduli Anak Kebumen (KOMPAK) untuk mempromosikan hak-hak anak. Seiring waktu berjalan, ia menduduki posisi ketua saat berada di kelas 10 SMP.
Selain itu, Agung ikut Forum Anak Kabupaten Kebumen yang merupakan bentukan pemerintah. Ia dimandatkan pula memimpin forum tersebut.
Sejak itu, jam terbangnya kian tinggi dalam organisasi. Ia harus siap dipanggil untuk mewakili KOMPAK di berbagai acara. Setidaknya, ada 40 kegiatan yang pernah ia ikuti, baik itu lingkup kabupaten, propinsi, hingga nasional sejak kelas 8 SMP hingga 3 SMA. Belum lagi kegiatan di kampus.   
Saat ini, Agung di KOMPAK lebih fokus di tataran organisasi.
“Saya banyak mewakili suara teman-teman. Saya tidak fokus membenahi manajemen dalam tubuh KOMPAK itu sendiri. Dan, saya datang ketika ada reorganisasi,” terang Ketua Majelis Besar KOMPAK ini.   
            Selama ini, KOMPAK telah didukung oleh Plan Program Unit Kebumen juga pemerintah Kebumen. Sebagai tindak lanjut, Agung dan teman-temannya sepakat membentuk Dewan Anak Muda Kebumen. Mereka telah mengadakan kongres pada 26-27 Januari 2013.
            Tentang motivasinya membentuk Dewan Anak Muda Kebumen ini, Agung menjelaskan,  “Saya ingin membawa anak-anak muda Kebumen agar aktif, kritis, dan responsif terhadap hak-haknya. Saya mengajak teman-teman Kebumen untuk mengonsep cara agar suara kami didengar oleh pemerintah dalam bentuk yang lebih kuat lagi. Bukan dalam bentuk perseorangan.”
            Melalui wadah ini pula, Agung hendak menyalurkan pengalaman dan kemampuannya pada anak-anak muda Kebumen. “Saya ingin memampukan mereka untuk bisa lebih dari saya,” cetus pembelajar tipe auditori ini.
            Belajar dengan cara mendengarkan, demikianlah Agung. Ia punya prinsip, “Saya tidak tahu banyak hal, makanya saya ingin tahu”. Caranya dengan bertanya dan menjelaskan ke orang lain. Jika ia dapat pengetahuan tentang suatu hal dari orang lain, maka akan ia sampaikan pengetahuan tersebut ke orang lain dalam bentuk berbeda. Mengenai ini, ia punya pandangan yang filosofis.
            “Pengetahuan itu bicara tentang teori, tapi kebijaksanaan itu bicara tentang praktik. Pengetahuan itu cenderung berbicara, tapi kebijaksanaan itu cenderung mendengarkan.”                Di sela-sela kesibukan kuliah sebagai mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM angkatan 2012, Agung hampir tiap minggu ke Kebumen. Ia menjadi fasilitator, motivator, juga trainer untuk beberapa acara di sekolah dan tempat lain. Ia biasanya membagikan pengalamannya, berdiskusi dengan teman-teman, serta untuk keperluan wawancara.
            Ia mengaku jika tidak dibantu Plan, ia tidak akan berjuang seperti saat ini.
            “Saya difasilitasi Plan. Sampai saat ini, saya tidak pernah melupakan orang-orang yang pernah membantu saya. Mereka adalah tonggak-tonggak kesuksesan saya. Kalau saya melupakan mereka, saya akan merobohkan itu semua dan jatuh.”
            Kiprahnya di berbagai ranah organisasi, khususnya KOMPAK, kian mematangkan karakter kepemimpinan dalam diri Agung. Ia bisa sampai ke London juga berkat godokan selama berkecimpung di ragam wadah yang menyuarakan perlindungan hak-hak anak.  
Baginya, prinsip dalam berjuang adalah kemanusiaan. Bagaimana manusia dimanusiakan. Dan, manusia itu benar-benar menjadi manusia bagi orang lain.

Selasa, 29 Oktober 2013

Latar Belakang Kurang Menyenangkan, Picu Selami Dunia Anak




           Dulu saya hanya tahu kalau punya anak, saya hanya perlu beri makan, pakaian, dan sekolahkan. Tapi, sekarang saya paham kalau anak juga harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.”
            Haminah sampai pada kesimpulan itu setelah sembilan tahun berproses bersama Plan. Ia menyadari, anak-anak punya pikiran dan dunianya sendiri. Mereka juga punya cara khas untuk mengutarakan pendapat. Pemahaman itulah yang coba ia suntikkan pada warga di sekitarnya. 
            Haminah mengawali kiprahnya sebagai relawan desa sejak 2004 ketika Plan masuk di Desa Penimbun, Kecamatan Karanggayam. Saat itu, ada kegiatan dari Plan yang melibatkan anak-anak. Ketentuannya, anak-anak tersebut harus ada pendamping laki-laki dan perempuan. Secara tiba-tiba, ia ditunjuk Kades Penimbun untuk mendampingi anak-anak berproses.
            “Saya tidak tahu kalau itu namanya pendamping anak. Sejak itu, tiap kali ada kegiatan Plan, saya dilibatkan. Lama-kelamaan saya ditetapkan jadi pendamping anak karena saya yang sering berproses dengan mereka. Tidak ada acara pengangkatan secara formal,” tuturnya.    
            Anak-anak berproses, menurut Haminah, adalah mereka yang melakukan kegiatan, seperti mengadakan pertemuan atau membuat sesuatu, baik itu karya fisik maupun bukan. Misalnya, ketika ada perencanaan desa dan anak-anak dilibatkan, Haminah-lah yang mendampingi dan memfasilitasi mereka.
            “Kalau pembangunan di desa, perencanaannya berbeda. Jika harus menggali informasi dari orang dewasa, ya sumbernya orang dewasa. Sumber informasi dari anak-anak juga ada. Saya yang mengadvokasi pemerintah desa agar melibatkan anak-anak,” ujar perempuan kelahiran 5 Mei 1977 ini.  
            Lingkungan keluarga yang kurang paham tentang pendidikan, membuatnya putus sekolah saat kelas 2 SMP lalu menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. Latar belakang   itulah yang memotivasinya untuk menyelami dunia anak-anak.
            “Saya ingin mendapatkan ilmu dan menerapkannya setidaknya untuk anak-anak saya sendiri,” kata ibu dua anak ini.
            Ia gencar menyampaikan agar anak-anak tidak sampai putus sekolah lantas bekerja. Karena ia sudah merasakan pahit getirnya. Kendati demikian, ia tidak pernah menyesali salah satu fase dalam perjalanan hidupnya itu. Tekadnya cuma satu, jangan sampai anaknya bernasib sama sepertinya.       
            Didorong oleh Plan, ia pun menyambung rantai pendidikannya dengan mengambil Kejar Paket B pada 2011 yang dilanjutkan dengan Kejar Paket C. Ini salah satu caranya pula untuk memacu anak-anaknya agar tetap semangat sekolah.
            Selain sebagai pendamping anak dan ibu rumah tangga, Haminah juga aktif di berbagai forum dan organisasi. Ia menjadi sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Ia ditugasi sebagai pemberdaya masyarakat desa dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Ia juga tergabung sebagai Tim Komite Sekolah di SDN Penimbun.
            “Saya malah tidak masuk PKK. Biar saya tidak ada di mana-mana. Biar ibu-ibu yang lain juga bisa berperan secara merata,” ucapnya sembari tersenyum.   
            Dinilai vokal dalam menyampaikan aspirasi anak-anak, ia pun dimasukkan ke bidang advokasi dalam Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Penimbun. Dan pada tanggal 25 Februari 2013 ia mendapat amanat menjadi Sekretaris Umum Forum KPAD Kabupaten Kebumen. Keterlibatannya di KPAD membuatnya merasa lebih paham dan fokus pada upaya perlindungan hak anak. Salah satunya adalah hak untuk memberikan pendapat.
            “Kini, kalau mau melakukan apa-apa, saya harus diskusi dengan anak-anak. Apalagi suami saya tidak di rumah, mencari nafkah di Jakarta. Jadi, segala keputusan harus dipertimbangkan dengan anak-anak,” jelasnya.
            Ia juga mengaku kalau pelan-pelan di dalam dirinya terjadi perubahan cara pandang terhadap hak anak.
            “Sebelum 2004, saya bergaul dengan orang-orang kota. Saya berpikir bahwa untuk mengasuh anak harus punya banyak duit. Untuk menyekolahkan anak, misalnya. Dari dulu saya berpikir sekolah itu penting. Kalau punya anak, jangan sampai tidak sekolah.”
            Haminah sebenarnya menyesal bukan belakangan ini. Kala memutuskan keluar dari kelas 2 SMP dan bekerja, ia sudah menyesal. Oleh karena itulah, saat kerja di Jakarta, ia pun gigih membiayai sekolah adiknya sampai lulus SMK.
            “Pandangan saya bahwa untuk menyekolahkan anak harus punya duit banyak, sedikit demi sedikit terkikis. Kalau kita tidak punya uang banyak, sementara niat kita kuat, Insya Allah ada jalan. Saya yakin kalau kita berusaha jadi orang bermanfaat buat orang lain, pasti ada yang membalas,” pungkasnya mantap.

   

Sabtu, 26 Oktober 2013

Penyusunan materi sosialisasi Perlindungan Anak bagi KPAD/KPAK


Dari refleksi kami bahwa fokus kerja KPAD adalah pencegahan. Karena untuk penanganan kasus sudah menjadi kewenangan pihak pemerintah dan itu membutuhkan biaya besar, sehingga bagaimana upaya pencegahan bisa dimaksimalkan. Selama 2 hari ini akan mendampingi teman-teman KPAD dalam rangka upaya-upaya pencegahan sehingga KPAD mempunyai bahan bacaan (referensi) yang bisa digunakan untuk pencegahan.  Paling tidak sebagai tambahan materi ketika KPAD melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang perlindungan anak. Demikian penuturan Suranto CPO Plan Indonesia PU Kebumen saat membuka acara Workshop penyusunan materi sosialisasi Perlindungan Anak bagi KPAD/KPAK di Hotel Candisari Karangnyar Kebumen pada hari Sabtu-Ahad, 12-13 Oktober 2013.
Acara yang diikuti oleh 30 orang perwakilan dari pengurus KPAD yang ada di Kabupaten Kebumen dengan Fasilitator Odi Shalahudin Direktur Eksekutif Yayasan Samin Jogjakarta itu membahas draf panduan sosialisasi perlindungan anak.
Diawal worshop Odi Shalahuddin mengatakan bahwa, selama ini KPAD memang sudah sering melakukan sosialisasi, tetapi materinya masih sangat monoton, yakni seputar tentang Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak (KHA). Padahal inti /ruh sosialisasi itu mengandung pendidikan bagi masyarakat.
Sebagai bahan rumusan awal Odi Shalahuddin mengajak peserta untuk berdiskusi tentang keluhan orangtua terhadap anak-anaknya dan permasalahan anak menurut orang dewasa. Dari hasil diskusi peserta dapat dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut:
Keluhan orang tua terhadap anak ?
1.              Anak sering memaksakan kehendak sendiri, tidak melihat kemampuan orang tua
2.              Anak-anak lebih banyak main HPdan play station daripada belajar
3.             Bermain tidak kenal waktu
4.             Tidak mau mengaji
5.             Anak susah disuruh membantu orang tua
6.             Anak susah untuk dinasehati, cenderung berani kepada orang tua
7.             Anak naik sepeda motor kebut-kebutan ( balapan liar )
8.             Banyak anak merokok, miras.
9.             Banyak anak pacaran
10.          Banyak anak mbolos sekolah
11.           Anak jajan sembarangan
12.           Anak kurang menghormati terhadap orang tua
13.          Bebasnya akses sosial media.
14.          Banyaknya main PS dan game online.
15.          Terlalu minimnya jam pelajaran pendidikan agama dan pendidikan moral di sekolah
16.          Belum adanya peraturan jam wajib belajar di desa.
17.          Kurang tegasnya pelaksanaan tata tertib sekolah.
18.          Permintaan uang saku yang berlebihan
19.          Banyaknya dan bebasnya penjual napza.
20.         Susah diarahkan
21.           Pulang sekolah tidak langsung kerumah
22.          Tidak mau membantu orang tua
23.          Suka melawan
24.         Suka berbohong
25.          Pendiam
26.         Kurang tatakrama/sopan santun
27.          Suka mengancam

Masalah –masalah yang sering diungkapkan secara umum, orang tua terhadap anak antara lain:
1.              Malas belajar, mengaji dan muncul perkelahian anak
2.              Anak tidak disiplin
3.             Banyak terjadi kecelakaan lalulintas pada usia anak
4.             Anak putus sekolah, pemalakan antar anak dan kecanduan minuman
5.             Hamil di usia anak, menderita HIV AID
6.             Terjadi gizi buruk
7.             Kenakalan usia anak
8.             Pelecehan seksual,pernikahan anak, pemerkosaan.
9.             penyalahgunaan uang saku.
10.          usia anak sudah melanggar asusila (pacaran bebaz atau berlebih.)
11.           anak banyak menonton TV di jam yang harusnya buat belajar
12.           anak sering membolos.
13.          banyaknya anak merokok dan miras, Penyalahgunaan teknologi
14.          Usia sekolah menggunakan napza
15.          Track liar Pemalakan Pencurian Perkelahian
16.          Menikah usia anak
17.          Mudah terpengaruh gaya hidup mewah

Ketika bicara perlindungan anak, situasi yang seperti apa yang menunjukkan bahwa di desa sudah tidak ada lagi kekerasan anak?
Ada beberapa alternatif dan pendapat peserta bahwa sudah tidak ada kekerasan anak di desa jika:
1.       Kesadaran tentang anti kekerasan
2.       Kesejahteraan meningkat
3.      Penegakkan hukum yang adil
4.      Keimanan dan ketaqwaan meningkat
5.      Memahami tumbuhkembang anak
6.      Keluarga harmonis
7.      Taat pada aturan yang ada
8.      Komunikasi terbuka
Waktu 2 hari ternyata jauh dari cukup untuk menyusun bahan sosialisasi KPAD. Untuk kelanjutan penyusunan draf dan sistematikanya dibentuk relawan tim penyusun sejumlah 7 orang yang bertugas merumuskan lebih lanjut tentang bahan bacaan sosialisasi Perlindungan Anak bagi KPAD/KPAK. Diakhir warkshop peserta sepakat memilih Mardiadi, Suparlan, Haminah, Nurul Amin, Pujirah, Subur, Diyo Daryono sebagai tim perumus.