Sabtu, 26 Oktober 2013

KPAD sebagai Pelindung Anak


“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak” (Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002).

            Apa yang termaktub dalam UUPA di atas, direspon positif oleh Plan. Sebagai organisasi non-pemerintah yang fokus pada pemberdayaan masyarakat, khususnya anak-anak, perhatian itu diwujudkan dalam aksi nyata dengan membentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD).
            Kelompok ini dibentuk secara partisipatif dengan melibatkan semua unsur yang berkepentingan dengan perlindungan anak, antara lain: pemerintah desa, lembaga-lembaga desa, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, Karang Taruna, bidan, guru, PKK, komite sekolah, organisasi-organisasi berbasis komunitas, serta tentu saja anak itu sendiri. Tak lain tujuannya untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak dan terlindunginya anak-anak dari segala bentuk perlakuan salah.
            Pembentukan KPAD sendiri dilatarbelakangi oleh kian meningkatnya pemahaman para relawan desa mengenai hak-hak anak dan perlindungan anak. Satu yang vital adalah hak anak untuk mempunyai akta kelahiran. Selain itu, kekerasan anak yang kerap terjadi di lingkup keluarga atau masyarakat juga menimbulkan kegelisahan tersendiri. Masalah-masalah itu acap kali tidak tertangani dengan baik. Masyarakat kesulitan mengakses lembaga perlindungan anak yang ada di tingkat kabupaten.
            Embrio lembaga perlindungan anak ini sendiri muncul pada tahun 2007 – 2008. Diawali oleh kesepakatan para relawan di lima desa di Kecamatan Karanggayam, yakni Desa Penimbun, Kajoran, Karangmaja, Logandu, dan Kebakalan untuk membentuk kelembagaan desa yang menangani perlindungan anak. Relawan desa pun mengkoordinasikan hal ini dengan pemerintah desa. Inisiatif tersebut disambut baik oleh pemerintah desa dengan cara mengundang perwakilan masyarakat untuk membentuk lembaga perlindungan anak di tingkat desa. Masing-masing desa namanya berbeda. Misalnya, di Kajoran namanya Komite Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A). Di Logandu bernama Komunitas Pemerhati Anak Child Al Habib.
            Namun, untuk lebih memudahkan koordinasi dan pengingatan nama, pada 2010 lembaga desa itu pun diseragamkan namanya menjadi Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD). Hingga kini, ada 15 KPAD yang telah terbentuk, antara lain di Desa Penimbun, Kajoran, Kebakalan, Logandu, Kalirejo, Karangmojo, Selogiri, Wonotirto, dan Giritirto (Kecamatan Karanggayam); Desa Pesuningan (Kecamatan Prembun); Desa Balingasal, Pejengkolan, Sidototo, dan Padureso (Kecamatan Padureso); serta Desa Karangsambung (Kecamatan Karangsambung).
Soal nama kelar, penataan kelembagaan pun dimulai dengan turunnya izin resmi melalui Surat Keputusan Kepala Desa. Dokumen kerja pun segera disusun.
Perjuangan masih panjang dan melelahkan. Setelah sinyal baik ditunjukkan masing-masing desa, KPAD pun menginisiasi adanya Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak. Melalui tim yang terdiri dari berbagai unsur, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga-lembaga desa, serta pemerintah desa, dirumuskan draft rancangan Peraturan Desa Perlindungan Anak. Isu-isu anak yang dominan muncul, seperti pernikahan usia anak, kekerasan pada anak, putus sekolah, dan anak mengalami gizi buruk jadi pokok-pokok pikiran yang dituangkan dalam Peraturan Desa.
 Untuk mensosialisasikan hal ini, KPAD berjejaring dengan beberapa LSM lokal, seperti Forum Masyarakat Sipil (FORMASI) dan Bina Insani, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pakis. Tak luput bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermades) serta Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Kebumen. Jejaring ini memang sengaja diperluas karena kompleksnya masalah anak.
Peraturan Desa kelar dirumuskan, lantas dibahas, ditetapkan, dan disosialisasikan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dari 15 KPAD yang sudah terbentuk di Kebumen, delapan desa yang telah merancang Peraturan Desa tersebut. Regulasi ini mengikat kepala desa dan masyarakat dalam upaya pencegahan kekerasan anak.
Langkah berikutnya yang ditempuh KPAD adalah mendorong pihak kabupaten agar menggagas Peraturan Daerah tentang Perlindungan Anak. Pengurus KPAD bergabung untuk mendorong pemerintah kabupaten agar segera membuat payung hukum tentang perlindungan anak. Saat tulisan ini dibuat, Raperda PA sedang dibahas di tingkat Pansus.
Selain itu, mereka juga juga telah berupaya membentuk Forum KPAD se-Kabupaten Kebumen yang telah dideklarasikan pada 25 Februari 2013. Forum ini diharapkan bisa menjadi bagian kekuatan masyarakat madani yang akan memberi dukungan bagi pemerintah daerah dalam menyediakan layanan perlindungan anak. Adanya forum yang legal ini diharapkan mampu mendorong terwujudnya nota kesepahaman dengan pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Adapun biaya operasional KPAD selama ini memang berasal dari Plan. Namun, seiring dengan hendak keluarnya Plan dari Kebumen, pelan-pelan KPAD dimandirikan. Caranya dengan dilembagakan di desa. Sehingga, setelah resmi jadi bagian dari desa, masalah biaya bisa dialokasikan dari Anggaran Dasar Desa. Selain itu juga dari pemerintah kabupaten.
Selama ini pengurus KPAD memang bekerja secara sukarela tanpa digaji. Mereka menjalankan fungsinya atas kesadaran penuh akan hak-hak dan tanggung jawab sebagai warga negara untuk mendukung perlindungan anak di desa. Mereka berpegang teguh pada sikap sukarela, tabah, dan siap berkorban. Prinsip mereka adalah “kepentingan terbaik untuk anak”.
Mereka juga bekerja secara transparan dan akuntabel. Artinya, kinerja KPAD dalam rangka perlindungan anak terbuka untuk dipahami, dinilai dan diberi masukan oleh pemerintah maupun masyarakat, terutama anak-anak. Dalam hal ini, sumbangsih peran yang bisa diberikan anak-anak bisa berupa: mendata rekan sebayanya yang belum punya akta kelahiran; bersama orang dewasa melakukan pemetaan Analisis Situasi Hak Anak (ASHA); melakukan konseling sebaya; serta berpartisipasi dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES).
Prinsip kerja lainnya yang dipegang teguh oleh pengurus KPAD adalah kerja sama. Sebab, isu perlindungan anak adalah isu pembangunan yang melibatkan segenap komponen masyarakat dan negara. Semua komponen ini berkewajiban menurut fungsi masing-masing dalam mendukung tiap bentuk kerja perlindungan anak. Perlindungan itu tentu didasarkan pada nilai-nilai saling menghormati, menghargai, dan saling menguatkan.
Salah satu KPAD di Kebumen yang dinilai berhasil dan acap kali jadi rujukan studi banding adalah KPAD Kajoran. Suparlan, Ketua I yang juga sering jadi juru bicara KPAD Kajoran mengatakan, “Mungkin KPAD Kajoran dianggap sudah banyak memiliki pengalaman dengan modal tekad yang cukup nekat. Artinya, kami berbekal pendidikan yang sangat minim, tapi masih peduli pada anak orang lain yang sedang bermasalah.”
Pria lulusan SMP ini menambahkan, “Pada pertengahan 2010 kami pernah mendampingi kasus anak sampai persidangan. Teman-teman menganggap itu berhasil. Padahal kami bermodal keberanian saja. Itu pun atas dorongan teman-teman juga.”
Rasa salut juga terungkap dari Progam Unit Manager Dompu, Hatta Usman, yang bersama kepala desa, jajaran pemerintah, dan staf Plan melakukan studi banding ke KPAD Kajoran pada 7 Maret 2013. Ia mengatakan, “Kalau melihat produk hukum yang dibuat oleh desa, lebih-lebih mengenai perlindungan hak anak, itu bukanlah kerja yang setengah-setengah. Itu menunjukkan betapa peduli mereka terhadap persoalan-persoalan anak. Apalagi memerhatikan idealisme teman-teman KPAD.”
Laki-laki berdarah Makassar itu bertutur, “Itu pula yang menyebabkan kami melakukan studi banding selama seminggu agar mendapatkan informasi yang lebih. Dihadapkan pada situasi yang lebih realistis dengan mempertemukan mereka (peserta studi banding, red) dengan para pengurus KPAD yang berkecimpung langsung menangani perlindungan anak.”
Ibarat dua sisi mata uang, di balik pencapaian KPAD juga ada tantangan yang dihadapi. Secara umum tantangan KPAD berupa: biaya operasional KPAD yang belum dianggarkan oleh semua desa; adanya beberapa personal di pemerintahan desa yang belum merespon baik keberadaan KPAD; Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak yang belum dimiliki oleh semua desa; Perda tentang Perlindungan Anak yang masih dalam proses pembahasan di DPRD; anggapan masyarakat bahwa tiap tindakan yang melanggar hukum harus diselesaikan melalui jalur hukum formal (peradilan); serta peran anak dalam KPAD yang belum maksimal.
Tantangan-tantangan yang masih bercokol di depan mata, sementara Plan hendak keluar dari Kebumen, membuat para pengurus KPAD merasa belum siap. Menanggapi ini, Suparlan menyatakan, “Sebenarnya, masih banyak hal yang kami butuhkan. Tapi, secara kinerja kami Insya Allah bisa berjalan tanpa didampingi Plan lagi, dengan catatan bahwa jaringan-jaringan kami sudah jelas, sudah ada nota kesepahaman dengan aparat penegak hukum, ada paguyuban KPAD sekabupaten, juga Perda tentang Perlindungan Anak telah disahkan.”
Meski Peraturan Daerah tentang Perlindungan Anak baru disahkan akhir bulan Mei 2013 kemarin, namun setidaknya lewat Forum KPAD yang telah diresmikan, mereka telah mendorong pemerintah Kabupaten Kebumen membentuk KPAD di 460 desa kelurahan di wilayah tersebut. Dukungan itu disampaikan oleh Sekretaris Kabupaten Kebumen, Adi Pandoyo, pada 28 Februari 2013. “KPAD harus terbentuk di setiap kelurahan dan desa. Kami berkomitmen mendukungnya, termasuk dari sisi anggaran,” terangnya. 
            Jika pemerintah, masyarakat dan anak-anak terus dilibatkan dan bersinergi dalam upaya perlindungan anak berbasis warga, suatu hal yang tidak mustail tindak kekerasan terhadap anak bisa dikurangi. Apalagi melalui KPAD, warga diberi pelatihan tentang perlindungan anak. Sensitivitas mereka dalam mendeteksi potensi kekerasan di lingkungannya akan makin terasah.
            Bersama kita wujudkan perubahan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar