Senin, 23 Mei 2016

Bedah buku panduan fasilitator PATBM

Pada praktek pengalaman kerja KPAD, kerapkali terjadi kesalahpahaman masyarakat dalam meletakkan posisi perlindungan anak. Perlindungan dianggap sebagai pembenaran bagi anak untuk melakukan tindakan apapun tanpa adanya resiko untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya tersebut. Komentar yang bermunculan lebih bernada kekhawatiran bahwa anak akan menjadi liar, bersikap semaunya, dan membangkitkan keberanian untuk melawan orangtua. Di sisi lain, terjadi pembiaran karena orangtua khawatir bila melakukan sesuatu akan dipersalahkan dan dapat dilaporkan.
Pemahaman demikian, tentu saja perlu diluruskan. Perlindungan anak bukan berarti melakukan pembiaran. Jika anak melakukan kesalahan, anak dapat dikenai hukuman.
Hanya saja hukuman yang diberikan adalah penghukuman positif yang tidak menciderai dan merugikan perkembangan kapasitas anak. Bila anak dibiarkan melakukan kesalahan-kesalahan serupa tanpa adanya sikap dari orangtua, maka sesungguhnya yang terjadi adalah kita telah melepaskan tanggung jawab. Ini akan merugikan perkembangan kapasitas anak untuk berkembang lebih baik.
Upaya perlindungan anak sebaiknya dilekatkan dengan pendidikan. Orangtua dan masyarakat turut bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan bagi anak dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Pemahaman tentang perlindungan anak hendaknya dipahami secara utuh oleh orangtua, masyarakat, dara para pihak yang bersinggungan langsung dengan anak, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal itu disampaikan oleh Mardiadi (Ketua Forum KPAD Kebumen) dalam pengantar diskusi ”Membedah Buku Panduan TOT Fasilitator Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat” Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Diskusi yang dilaksanakan pada hari Minggu, 22 Mei 2016 di aula Perpustakaan Daerah Kabupaten Kebumen itu, dihadiri oleh pengurus forum KPAD Kebumen, perwakilan pengurus KPAD dan Fasilitator Muda Kebumen.
Dalam kesempatan tersebut, Suparlan yang mewakili Forum KPAD untuk mengikuti TOT yang dilaksanakan di Bangka belitung selama 5 hari itu membeberkan bahwa ”Kementerian PP-PA akan membentuk PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) sehingga untuk mengawalinya menyusun panduan bagi fasilitator PATBM.  Namun isi dari panduan itu ada beberapa yang dimungkinkan kesulitan dalam pelaksanaannya, dan dianggap buku panduan itu belum siap pakai.
Dalam panduan disebutkan bahwa PATBM adalah sebuah gerakan (bukan program atau kegiatan maupun kelembagaan) namun tetap berbasis kemasyarakatan. Dari bentuknya saja yang berupa gerakan ini sudah menyulitkan dalam pelaksanaannya.
Dalam upaya perlindungan anak, aspek kultural dan kearifan lokal ini menjadi pertimbangan pertama. Belum lagi bicara bagaimana peran dan intervensi dari pemerintah, sehingga kalau panduan ini ”dipaksakan” untuk dilaksanakan dikhawatirkan justru akan menghambat capaian dari PATBM itu sendiri. Lebih lanjut disampaikan bahwa mekanisme Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat di Kebumen dilakukan dengan beberapa tahapan, mulai dari memberikan pemahaman apa itu PABM, siapa yang dapat menjadi penggeraknya, bagaimana langkah-langkah pembentukkannya sampai pada peran tugas pokok dan fungsinya.
 Kita harus mencermati buku panduan PATBM ini dengan seksama, sehingga kalau menemukan kejanggalan dan ada yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal ya harus dikritisi, hasilnya disampaikan ke KPP-PA, imbuh Suparlan sembari menyatakan bahwa untuk lebih detail, forum KPAD akan mendiskusikan kembali pada minggu mendatang.

Minggu, 24 April 2016

Refleksi Implementasi Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat di Kab. Kebumen

Sebagai wujud komitmen dari Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD), hari ini Ahad, 24 April 2016 bertempat di Aula Perpustakaan dan Arsip Daerah Kab. Kebumen diadakan Diskusi dengan tema "Refleksi Implementasi Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat di Kab. Kebumen yang dihadiri oleh 10 KPAD (dewan presidium F.KPAD), forum anak kabupaten, fasilitator muda), yang dimoderatori oleh Agung Widhianto Dari Fasilitator muda narasumber Mustika Aji dari Bina Insani, Mardiadi dari Fprum KPAD Kebumen.
Kegiatan tersebut dilatar belakangi dengan adanya respon Pemerintah Daerah (BPPKB) Kebumen yang sampai tahun 2016 ini telah terbentuk 325 KPAD/K. Tak bisa dipungkiri sebuah gerakan yang sangat luar biasa dan patut mendapatkan apresiasi dari kita semua dimana pada tahun 2006 (awal inisiasi masyarakat untuk membentuk KPAD banyak mendapatkan tantangan dan ketidakpercayaan dari berbagai pihak).
Namun dibalik itu semua ada tantangan besar yang dihadapi, diantaranya:
1. Masih minimnya pemahaman tentang PABM bagi pengurus KPAD baru.
2. Semakin maraknya iisu kekerasan anak disekitar kita.
3. Terbatasnya sarana dan prasarana KPAD.
4. Para pemegang kebijakan belum sepenuhnya respon terhadap pemenuhan hak anak. (meski telah dimandatkan dalam Perda 3/2013 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Berangkat dari itu semua, dengan diskusi ini diharapkan ada kesepakatan bersama untuk memaksimalkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok fan fungsinya masing-masing. Roh semangat bersama yang telah dibangun saat awal berdirinya KPAD, forum anak, dan FM harus dipertahankan bahkan dimaksimalkan, kata Mustika Aji.
Sedangkan Mardiadi menyampaikan pesan kepada peserta yang hadir, bahwa lembaga yang ada sampai saat ini bahkan telah direplikasi oleh Pemerintah Daerah adalah usaha dan inisiasi murni masyarakat yang saat itu difasilitasi oleh Plan Internasional. Proses perjuangan panjang dan berbagai tantangan telah kita hadapi bersama, sehingga semestinya saat ini harus selalu dijaga agar tujuan awal yakni upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak dapat terwujud.
Forum anak, fasilitator muda, dan KPAD adalah satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat terpisahkan. Dari forum anak akan terlahir fasilitator muda, dan dari fasilitator muda itulah akan terlahir generasi yang akan meneruskan perjuangan KPAD. Dan melalui proses pembentukan regenerasi yang bertahap itulah diharapkan ketika berperan sebagai KPAD benar-benar paham tentan PABM.
Akhir diskusi disepakati beberapa kesepakatan bersama tentang kerangka tindaklanjut dari forum anak, fasilitator muda, KPAD dan Forum KPAD.

Salam, semoga manfaat....

Jumat, 01 Januari 2016

KPAD Sempat di Tolak dan Tak Dianggap



MARDIADI : KPAD Sempat di Tolak dan Tak Dianggap, Akhirnya Mampu Membangun Desa yang Melindungi Anak
By, Yuyum Fhahni Paryani, Independent Consultant in Child Protection and Community Based Child Protection

Pengantar: Membangun Kota Layak Anak bukanlah hanya “jargon” yang didukung berbagai aturan yang tidak membumi, sehingga menjadi khayalan semata. Bagaimana sebuah Kota/Kabupaten bisa Layak Anak, kalau desa/kelurahan dimana anak tinggal masih banyak yang tidak layak untuk anak?.

Hadirnya Kelompok Perlindungan Anak Desa-KPAD, telah mendekatkan layanan perlindungan anak yang selama ini tidak dirasakan keberadaannya dimasyarakat. Pentingnya pencegahan dengan sosialisasi dan promosi tentang hak hak anak dan perlindungan anak dari masyarakat untuk masyarakat, mampu membangkitkan kesadaran masyarakat secara utuh, tentang pentingnya anak bagi masa depan. Membangun Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat melalui KPAD itulah jawaban Nyata untuk mewujudkan sebuah Desa/Kelurahan Layak dan Melindungi Anak.

Tingginya masalah - masalah anak yang terjadi di desanya membuat Mardiadi (41 tahun) tergugah untuk peduli pada masalah masalah anak. Baik disengaja atau tidak, tanpa kita sadari ternyata banyak sekali perilaku-perilaku orang dewasa yang melakukan kekerasan dan melanggar hak - hak anak. Siapa yang peduli kalau bukan kita yang ada di Desa ini. Tahun 2007, Ia bersama rekan rekan yang peduli sepakat untuk membangun Komite Pemerhati Anak (KPA) di Desa Logandu, Kec.Karanggayam, Kab Kebumen.

Laki laki berperawakan kurus ini pun dengan lugas menceritakan bagaimana pengalaman dan tantangan yang Ia hadapi dalam membangun kesadaran masyarakat sehingga mampu mewujudkan desa yang melindungi anak. Tidak mudah tentunya, tetapi inilah bentuk kepedulian dan tanggungjawab kami sebagai orangtua sekaligus warga desa Logandu. Saat ini terjadinya “perubahan perilaku masyarakat yang melindungi anak; melahirkan Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak; mendorong tersedianya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak; ketersediaan anggaran untuk perlindungan dan partisipasi anak baik di Desa maupun Kab Kebumen.

Kepedulian dan kemampuan laki laki lulusan Tarbiyah STAINU Kebumen ini, dalam menyampaikan informasi tentang hak hak anak (Konvensi Hak Anak) dan perlindungan anak (UUPA 23/2002), memahami bentuk bentuk kekerasan terhadap anak, partisipasi anak, serta melakukan kegiatan advokasi tidaklah timbul begitu saja. Saat desanya terpilih menjadi salah satu desa dampingan Plan Indonesia yaitu lembaga yang fokus pada anak, Ayah 3 putra ini pun bersedia ikut terlibat menjadi relawan sehingga ia sering mendapat kesempatan terlibat dalam banyak pelatihan dan kegiatan anak di desanya. Sesuai dengan motto dalam hidupnya “sebaik - baiknya manusia adalah yang bisa memberi manfaat bagi sesama. Ia pun tak lelah untuk melakukan hal hal yang bermanfaat buat warga dilingkungannya dengan sukarela

Awalnya, kami banyak mendapat penolakan baik dari orangtua, pemerintah Desa dan Kecamatan, serta dipertanyakan keabsahan lembaga. Saat mulai melakukan sosialisasi tentang pentingnya hak hak anak dan perlindungan anak, banyak orang tua yang menentang, “Wong anak anak ku dewe, ya hak saya sebagai orang tua. Kalau kamu mencegah anak kulo kerjo neng jobo, sampeyan iso gantek no?”.

Kami juga ditolak saat membantu proses penanganan masalah anak di Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga kami dianggap illegal dan tidak jelas oleh pihak Kepolisian, “Siapa anda, apa maksud dan tujuan kalian datang ke sini, dan ada kepentingan apa?”. Miris juga rasanya, kenang Guru MTs ini. Akhirnya kami dibantu oleh lembaga lain (baca;LSM) yang fokus pada masalah anak dan pada akhirnya kami bisa terlibat dalam proses penanganannya. Alhamdulillah setelah itu, si anak bisa melanjutkan sekolahnya lagi

Yang paling susah lanjut Babeh panggilan akrabnya, adalah saat bicara tentang pernikahan anak yaitu adanya perbedaan pada Undang Undang Perkawinan yaitu usia anak minimal 16 tahun, padahal di UUPA usia anak dibawah 18 tahun. Budaya di desa juga sangat mempengaruhi, “kalau anak gadis usianya sudah 20 tahun itu sudah dianggap perawan kasep (perawan tua) dan kalau sudah ada yang minta atau ditembong (dilamar) buat dinikahkan, tidak boleh ditolak, karena takut anaknya bakal jadi perawan tua untuk selamanya. Jadi kami harus melakukan sosialisasi tak hanya dimasyarakat saja tetapi juga kepada petugas KUA Kecamatan. Alhasil pernikahan anak juga sudah berkurang bahkan tidak ada lagi.
Tingginya angka Drop Out (putus sekolah) anak perempuan juga sudah teratasi. Selain jauhnya jarak ke sekolah, anak anak sendiri tidak punya motivasi yang tinggi untuk melanjutkan sekolah. Tamat SD biasanya mereka tidak mau melanjutkan, dan lebih memilih kerja ke luar dari Desa. Kalau sudah ketemu cowok, pulang ke Desa, kemudian mereka menikah. Melalui KPAD, Mardiadi berhasil mensosialiasaikan pentingnya pendidikan dan mendorong pemerintah dalam membangun sekolah yang dekat dengan desa, sehingga akses sekolah menjadi lebih dekat. Sekarang anak perempuan sangat tinggi keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi. Kalau pun ada yang DO atau tidak melanjutkan sekolah, itu hanya lebih disebabkan faktor ekonomi semata-mata. Kondisi sekarang malah terbalik, anak laki laki yang banyak bekerja dan tidak melanjutkan sekolah. Ini jadi masalah juga karena terjadi diskriminasi juga terhadap anak laki laki.
Mardiadi juga menceritakan bagiamana perilaku Ibu Ibu di desa yang sering melakukan kekerasan verbal pada anak, “kalo bahasa Kebumen dibilang di goblok globok ke dan suka membanding bandingkan anaknya dengan anak orang lain”.
Nah kalau anaknya mendengar, pasti ada dampak pada anak tersebut. Tapi sekarang sudah tidak lagi seperti itu dan sudah sangat terbangun komunikasi antar anak dan orang tua secara terbuka. Kekerasan terhadap anak juga sangat minim, bahkan sudah sangat jarang. Ia pun menambahkan informasi terkait dengan pemenuhan atas Hak Identitas anak, alhamdulillah saat ini hanya tinggal 0.05% saja yang belum punya akte, itupun dikarenakan faktor tehnis dan sedang dalam proses penyelesaian.
Kerja keras suami dari Kartem ini memang membuahkan hasil yang manis. Seringnya sosialisasi yang kami lakukan, masyarakat mendapat pengetahuan yang baik tentang anak, pemerintah desa pun semakin paham apa peran dan fungsi kami dimasyarakat. Penolakan tentang KPAD adalah organisasi yang dibentuk oleh Plan pun mulai memudar, kekhawatiran anaknya akan dibawa keluar negeri pun hilang. Pemdes semakin menyadari bahwa KPAD (Kelompok Perlindungan Anak Desa) ini memang Lembaga yang sangat diperlukan dan adalah milik Desa. Berdasarkan kesepakatan bersama kami menggantikan nama KPA menjadi KPAD dan menghindari terjadinya keberagaman nama kedepan. KPAD menjadi organisasi kuat dan terorganisir, ada struktur yang jelas, ada dokumen kerja, ada alur layanan perlindungan anak, dokumentasi kegiatan, menjadikannya layak menjadi institusi Desa. Akhirnya, di tahun 2011 Pemdes pun mau mengeluarkan SK tentang Kelompok Perlindungan Anak Desa yang diakui sebagai salah satu lembaga Desa, yang mengacu pada UUPA yang menjelaskan peran masyarakat dalam penyelenggaraan PA dan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa, Kelurahan di Kebumen. “Tidak ada alasan KPAD tidak ada cantolan aturan hukumnya”, tegas Ketua KPAD ini.
Apalagi setelah mendapat SK Desa, peran kami untuk perlindungan anak semakin mudah. Kami bisa mendompleng kegiatan di Desa, dengan kata lain “sosialiassasi dengan banyak media dan efisiensi biaya. Dipertemuan Desa, RW dan RT maupun kegiatan dan hajatan-hajatan Desa. Kedudukan sebagai tokoh agama di desa Logandu, sering diminta untuk memberikan ceramah-ceramah di Desa. Pada kesempatan apapun, pria yang hobby membaca dan berorganisasi ini, selalu menyelipkan pesan tentang hak hak anak dan perlindungan anak. Memang kerja KPAD ini kan lebih banyak pada pencegahan (80%) dan penanganan/merujuk kasus saja sekitar 20%.
Sekarang KPAD sudah bisa diterima baik di Kepolisian, Kejaksaan dan juga Pengadilan. Kami sering diundang saat ada kegiatan bersama aparat penegak hukum di tk Kabupaten, sehingga terjalin komunikasi yang aktif dan saling mengenal. Bahkan kami sudah bisa berkontak langsung dengan Polres kalau masalah anak yang tidak dapat diselesaikan di Tk Polsek.
ADVOKASI ANGGARAN, PERDES DAN PERDA PERLINDUNGAN ANAK
Perjuangan Mardiadi untuk membuat KPAD sebagai organisasi yang diakui dan berkelanjutan, ternyata masih belum selesai, dalam melaksanakan amanat perlindungan anak. Saat mengajukan anggaran untuk KPAD di Desa melalui RKA (Rencana Kerja Anggaran), pemerintah kecamatan mempertanyakan kembali siapa itu lembaga KPAD karena dianggap sebagai organisasi yang dibuat oleh Plan dan aturannya juga adalah aturan Plan. Saat itu dipanggil untuk menghadap Pak Camat, ia tak ciut nyali, bahkan sudah siap membawakan buku UUPA 23/2002 yang disahkan oleh Ibu Megawati sebagai Presiden RI dan bukan aturan dari Plan Indonesia. Saya juga membawa PERDA tentang Kelembagaan Desa dan Pengelolaan Keuangan Desa, biar nyambung. Saya jelaskan dan tunjukkan aturan aturannya, barulah Pak Camat mengerti dan setuju untuk memberikan anggaran operasional bagi KPAD tahun 2012. Selanjutnya, dari 15 KPAD yang difasilitasi oleh Plan Indonesia di Kebumen, kami menginisiasi pembentukan Forum KPAD di tingkat Kabupaten dan Alhamdulillah, tahun 2012 Forum KPAD terbentuk dan mendapat dukungan dari BPPKB dengan menyediakan ruang untuk Sekretariat Forum KPAD tk Kabupaten. Saya dipercaya sama teman teman menjadi Ketua Forum KPAD tk Kabupaten.

Melalui KPAD kami berhasil mendorong pembuatan PERDES Perlindungan Anak di Desa yang mengatur tentang pemenuhan hak hak anak di Desa. Baik tentang pemberian akte kelahiran; wajib mencegah adanya usia pernikahan anak dan tidak menggunakan bahasa melarang pernikahan anak pada PERDES PA, karena ada kaitannya dengan UU Perkawinan tahun 1974; tentang pekerja anak, perlu dketahui lebih lanjut dengan siapa anak itu bekerja, dengan siapa dia tinggal ditempatnya bekerja, dan nomor yang bisa dihubungi jika ingin berkomunikasi; kami juga membuat jam belajar anak yang dibuat berdasarkan kesepakatan dengan Komite Sekolah dan Guru yaitu jam 19 – 20 WIB. Orang tua juga dipastikan untuk mendampingi anak saat anak-anak belajar. Jangan saat anaknya belajar, orang tua sibuk nonton TV atau sibuk sendiri; partispasi anak dalam kegiatan desa dan proses prencanaan di tingkat desa juga menjadi prioritas; dan lain sebagainya.

Kami juga sadar, bahwa Plan Indonesia tidak akan selamanya ada dan mau selesai di Kebumen (phase out). Kami bersama Plan melakukan advokasi ke BPPKB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana) serta LSM lokal di Kebumen untuk menginisiasi PERDA (Peraturan Daerah) tentang Perlindungan Anak, karena memang belum ada di Kebumen. Dalam pembuatan PERDA ini memakan proses yang cukup panjang dan lama juga mentok didewan. Setahun perjuangan kami, akhirnya PERDA penyelenggaraan Perlindungan Anak (PPA) No 3 tahun 2013 di sahkan dan ada klausul yang jelas tentang kelembagaan KPAD yang diakui sebagai lembaga yang menyediakan layanan Perlindungan Anak di Desa.

Untuk memperkuat pelaksanaan PERDA PPA, harus dilanjutkan dengan pembuatan PERBUB yang mengamanatkan bahwa setiap Desa/Kelurahan harus membentuk KPAD/K. Namun, setelah ada PERDA dan PERBUB kebijakan ini belum bisa berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Kami pun bersama BPMPKB ditahun 2015 ini mengadakan pertemuan lintas sektoral antar SKPD dan meminta SEKDA untuk memfasilitasi pertemuan agar semua SKPD mendukung terbentuknya KPAD/K di semua Desa. Hingga kini sudah terbentuk 84 KPAD/K di Kebumen dan tahun 2016 ini diharapkan seluruh desa di Kebumen sejumlah 449 KPAD terbentuk. Setelah ada payung hukum, ditahun 2015, KPAD sudah mendapat dukungan anggaran sebesar Rp 80 juta, Forum Anak Rp 70 juta dan untuk pemenuhan PA Rp 125 juta. Sekarang, KPAD sudah menjadi partnernya pemerintah untuk memfasilitasi pembentukan KPAD di desa desa lain serta terlibat aktif jika ada masalah masalah anak

MENINGKATKAN PARTISIPASI ANAK DALAM PEMBANGUNAN

Mardiadi menjelaskan bahwa peran lain dari KPAD adalah menjadi pendamping kelompok anak dan bagaimana menjadikan anak mampu dan berdaya. Sebagai pendamping anak, Mardiadi selalu mempromosikan pentingnya suara anak untuk di dengarkan, baik dirumah dan dilingkungannya.
Anak anak pasti bisa, asal dberi ruang dan kesempatan oleh orang dewasa untuk berperan serta dimasyarakat. Misalnya, dalam sosialisasi dan promosi hak anak, peran anak sangat penting, karena melalui teman sebaya akan sangat mudah untuk dimengerti dan dipahami (peer educator). Ketika anak punya masalah, akan lebih enak kalau mereka menceritakannya melalui anak. Anak anak juga aktif membuat brosur, pamflet, stiker, kegiatan seni baik lewat theatre dan drama yang mempromosikan hak hak anak
Kami sebagai orang dewasa harus memberi ruang bagi anak untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang kami wujudkan dalam bentuk partisipasi anak dalam rencana penyusunan pembangunan desa. Pelibatan anak ini bukan lagi formalitas yaitu hanya datang untuk “mengamini” dan sekadar hadir saja disitu, tetapi mereka benar benar memberikan masukan yang jelas dari sudut pandang anak. Dan semua proses sudah kami mulai pada tingkat dusun dulu, kemudian di tk Desa, kecamatan dan juga Kabupaten. Kan sekarang Forum anak sudah ada dari tk Desa, Kecamatan hingga Kabupaten.*Yy*

http://yuyumparyani.blogspot.co.id/2015/05/mardiadi-kpad-sempat-di-tolak-dan-tak_94.html