Minggu, 04 Mei 2014

Kemajuan tekhnologi bagi remaja


 Di zaman modern seperti sekarang ini, kehidupan remaja tentu tidak sama seperti kehidupan remaja zaman dahulu. Saat ini banyak fasilitas atau hal-hal tertentu yang membuat para remaja merasa dimudahkan, namun tidak sedikit pula yang merugikan kehidupan mereka.
Teknologi modern seperti internet, ponsel, televisi atau fasilitas game, bisa berakibat dua macam bagi kehidupan remaja, yaitu positif dan negatif. Sayangnya, dibandingkan dampak positifnya, teknologi kerap menimbulkan pengaruh negatif pada kehidupan remaja. Apalagi remaja adalah sosok yang biasanya belum mengerti benar akan perbedaan hal yang baik dan buruk. 

a. Pengaruh Positif
Banyaknya teknologi dan segala fasilitas yang ada, ternyata memiliki dampak positif tersendiri bagi kehidupan anak remaja. Berikut adalah beberapa pengaruh teknologi terhadap kehidupan remaja dalam hal yang positif.
1.               Membantu pendidikan
Untuk beberapa teknologi, misalnya internet, memiliki pengaruh yang cukup positif terhadap perkembangan pendidikan remaja. Internet bisa menyuguhkan berbagai informasi pendidikan yang dibutuhkan oleh remaja sekolah.
Contoh lainnya adalah ponsel. Sebagai alat komunikasi, ponsel tentu memiliki dampak positif terhadap pendidikan, karena bisa membuat remaja pelajar berkomunikasi lebih mudah tentang pelajaran dengan teman atau bahkan para guru.
2.              Membantu pergaulan
Dalam kehidupan remaja, pergaulan adalah hal yang cukup penting untuk membangun kepribadiannya. Dengan kemajuan teknologi saat ini, pergaulan anak remaja bisa semakin meningkat.
Sebut saja ponsel atau jejaring sosial di internet. Dengan adanya dua teknologi itu saja, sosialisasi remaja bisa meningkat dan tentunya berkembang ke arah yang lebih baik.

b. Pengaruh Negatif
Teknologi manusia memang diciptakan untuk memudahkan kehidupan, termasuk kehidupan remaja. Namun, remaja hanyalah anak muda yang kadang sulit mengontrol diri dan akhirnya terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif. Berikut adalah contohnya.
1.               Adanya teknologi hiburan seperti televisi, perlengkapan game, atau internet, bisa membuat remaja lupa waktu untuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, misalnya belajar atau beribadah.
2.              Anak remaja adalah anak yang mudah terpengaruh. Ketika dia menyerap suatu informasi, ia mungkin akan menerapkannya. Bagaimana bila informasi tersebut adalah info yang negatif?
Misalnya, banyaknya situs porno di internet, hal ini tentu saja buruk bagi para remaja. Atau acara-acara di televisi yang kadang tak layak ditonton para remaja, misalnya kekerasan, berita kriminal, acara gosip (infotainment), dll.
3.              Teknologi memang bisa memperluas sosialisasi, namun bila tidak digunakan dengan benar, akibatnya malah sebaliknya. Tidak sedikit remaja yang lebih suka mengurung diri di kamar atau menyendiri hanya untuk menikmati suatu teknologi, misalnya internet, ponsel, atau play station yang sangat digemari saat ini.

Itulah beberapa contoh dampak teknologi terhadap kehidupan remaja kita saat ini. Sebaiknya teknologi memang harus digunakan sebagaimana mestinya, agar kehidupan menjadi lebih baik dan bukan memperburuk kehidupan remaja.

Kamis, 01 Mei 2014

Kesaksian Siswi SMA Surabaya Tentang Kecurangan Unas 2014


Surat terbuka seorang pelajar SMA Khadijah Surabaya yang baru menjalani Ujian Nasional pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghebohkan dunia maya. Kesaksian dan 'curhat'nya mengenai Ujian Nasional juga dimuat di blog tolakujiannasional.com.
Tulisan Nurmillaty Abadiah ini diunggah di note laman Facebook pribadinya 18 April 2014 lalu.
Diawali ilustrasi satu soal ulangan mata pelajaran Budi Pekerti :

16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…
a. Terpaksa
b. Terpuji
c. Tercela
d. Terbiasa

Nurmillaty Abadiah mengawali tulisannya dengan perang batin seorang siswa menjawab soal tersebut. Ironi tentang soal yang dijawab dengan mencontek menjadi keprihatinan siswi berjilbab ini.
Lebih lanjut, dia memberi kesaksian bahwa Ujian Nasional yang diikutinya tidak steril dari praktik curang.

Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.

Iya langsung bersih cling begitu, toh?

Nyatanya tidak.

Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.

Kritikan tajam juga ditulis dengan cerdas oleh Nurmillaty Abadiah pada Menteri Pendidikan Kebudayaan tentang kualitas soal Ujian Nasional tahun ini yang sudah berstandar internasional. Sebelum Ujian Nasional ini digelar, M. Nuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memang pernah memberikan pernyataan bahwa meskipun standar kesulitan Ujian Nasional ini ditingkatkan mengikuti standar internasional, pihaknya optimis siswa bisa mengerjakannya dengan baik karena materinya sudah diberikan sejak tahun lalu. Tapi hal ini dibantah Nurmillaty Abadiah :

Bapak, saya tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.

Kalau Bapak masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...

Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?

Tidak diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?

Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?

Lupakah Bapak bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?

Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?

Dalam tulisannya ini, Nurmillaty Abadiah juga mengekspresikan curahan hati kawan-kawannya yang galau:

Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.

Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?

Selengkapnya tulisan Nurmillaty Abadiah bisa disimak di laman Facebooknya.

Kesaksian Nurmillaty Abadiah diunggah di laman Facebook pribadinya


Minggu, 27 April 2014

Potret Pendidikan Masa Kini (2)


Sekolah: Ladang Subur Anti Kekerasan?

Sekolah ternyata bukan ruang steril kekerasan. Tepatlah kiranya ungkapan itu untuk menggambarkan “tragedi” sekolah JIS belakangan ini. Dikatakan “tragedi”, sebab terjadi di sekolah, sebuah komunitas yang selama ini mestinya menjadi tempat paling aman di mata orang tua, masyarakat, terlebih bagi siswa itu sendiri.
Sekalipun demikian, tragedi JIS bisa terjadi di sekolah manapun termasuk sekolah anak-anak kita. Apalagi berhadapan dengan sekolah yang tertutup, kesempatan terjadinya perilaku kekerasan/ intimidatif semakin terbuka lebar. Ruang pergaulan yang terkesan bebas dan komunikasi yang lepas acapkali mudah meminggirkan / menyembunyikan korban kekerasan dengan stigma “culun”, “cemen”, “kenyi” atau “tipis.”
Kekerasan memang tidak selalu identik dengan kekerasan seksual. Dalam prakteknya perilaku kekerasan di sekolah melibatkan banyak aspek baik dari segi pelaku, bentuk, dan skala kejadian.
Pelaku kekerasan
Istilah “orang dewasa” pelindung“ kiranya tidak senantiasa relevan. Banyak kesempatan justru menunjukkan perilaku kekerasan dilakukan orang dewasa kepada anak-anak.
Di dalam keluarga hal itu bisa dilakukan orang tua kepada anaknya sendiri atau kakak kepada adiknya. Praktek kekerasan yang dialami seseorang acapkali menjadi benih subur seorang anak memiliki jiwa penindas atau intimidatif terhadap orang di sekitarnya apabila terbuka peluang untuk itu.
Di sekolah bentuknya bisa lebih beragam mulai kekerasan yang dialami guru oleh atasan sampai guru senior kepada guru baru (novice teacher). Motivasinya juga beragam entah atas nama ketaatan, perkenalan komunitas, perploncoan, atau lemahnya control lembaga, dan ketiadaan kultur yang jelas di sekolah tersebut. Guru-guru ini, karena keterbatasan status dan pilihan terpaksa menikmati saja perilaku tidak adil yang diterimanya.
Di kalangan siswa tindakan kekerasan biasanya dialami dari guru/ karyawan terkait otoritas/ kewenangan yang dimiliki, siswa “baru” oleh seniornya, atau siswa tertentu dijadikan korban kekerasan karena keterbatasan yang dimilikinya (autis, cacat fisik, dianggap asosial dsb). “Ledhekan” atau “cemoohan” biasanya justru menjadi guyonan yang seolah menghibur banyak orang tanpa peduli betapa pilu rasa hati yang menjadi korban.
Bentuk kekerasan
Bentuk perilaku kekerasan bisa terjadi mulai yang samar sampai sifatnya fisik/ memberikan luka mendalam. Dalam bukunya Bullied teacher bullied student, Parson, L (2005), menjelaskan beberapa bentuk kekerasan yang sering dialam siswa di sekolah seperti:
Pertama, kekerasan verbal. Perilaku ini dilakukan guru melalui penamaan atau stereotip tertentu kepada siswa yang bernada seksis, rasis, kelemahan mental, atau pun homofobik. Misalnya ungkapan menyebut siswa “bodoh”, “banci”, “china”, “lesbian”, “homo” dan sebagainya. Sekalipun sifatnya verbal, namun ungkapan demikian bisa membekas secara mendalam dalam diri siswa, dan tidak mustahil bisa memberikan pengalaman luka batin yang akan dibawa siswa tersebut selama siswa pendidikannya.
Banyaknya pelecehan seksual secara verbal dalam berbagai kesempatan lebih dikarenakan adanya penyalahgunaan wewenang yang sangat dominan/ tidak terkontrol dari pelaku terhadap si korban daripada persoalan persoalan seksualitas itu sendiri.
Kedua, kekerasan fisik. Perilaku ini lebih mudah ditemukan bukti fisiknya dari para korban. Misalnya memukul, menendang, meludah, menjambak, dan melempar. Ada perbedaan batasan manakah yang sesungguhnya telah dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan mana yang bukan. Namun demikian, pada prinsipnya sejauh perilaku itu di luar batas kewajaran atau sudah dikategorikan “keras” maka tidak ada alasan untuk menolak hal itu merupakan praktek konkrit dari kekerasan fisik.
Ketiga, kekerasan psikologis. Kekerasan ini dilakukan misalnya dalam bentuk teriakan, berbicara secara kasar, menggertak, melempar atau menyobek pekerjaan siswa, mengacam siswa dengan hukuman, vonis nilai ulangan, mengacuhkan, tidak peduli, atau melecehkan pendapat/ pertanyaan siswa.
Bentuk kekerasan psikologis semacam ini memiliki efek yang tidak kurang negatinya dibandingkan dua kekerasan di atas. Sikap kecewa, rasa frustasi dan bersalah, serta luka batin pada diri korban acapkali juga sukar dikendalikan. Banyak orang tua akhirnya harus melibatkan pihak profesional/ psikiater untuk membantu para siswa ini dalam proses pemulihan dirinya.
Dan keempat, kekerasan atas nama profesionalisme. Bentuk-bentuk kekerasan ini ditunjukkan guru melalui penilaian hasil pekerjaan siswa yang tidak adil, penerapan disiplin yang tidak relevan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, menghambat siswa untuk mendapat hak pengajaran yang sama, memanipulasi data siswa demi keuntungan diri, melakukan intimidasi terhadap orang tua karena hambatan bahasa/ social ekonomi sehingga orang tua tidak bisa menyampaikan masalahnya kepada pihak sekolah, dan sebagainya.
Skala kekerasan
Skala kekerasan terkait sejauhmana pihak-pihak terlibat dalam perilaku kekerasan yang dimaksud. Bentuk yang paling sederhana tatkala kekerasan itu hanya melibatkan satu atau dua siswa secara terbatas dengan efek masalah yang juga tidak mengawatirkan pihak korban.
Di samping bentuk individual, efek kekerasan juga bisa memengaruhi kelompok tertentu secara lebih luas. Di samping skala yang lebih luas korban kekerasan mulai menunjukkan keberanian secara kelompok untuk melawan. Namun demikian, persoalannya akan lebih “berat” tatkala satu rombongan besar/ kelas/ angkatan kelas mengalami kekerasan yang sama. Ketika reaksi ini mulai merata secara massif maka gerakan perlawanan para korban kekerasan mulau muncul mengalahkan tekanan kekerasan yang ada.
Penutup
Dengan demikian kirannya sekondusif apapun klaim kita semua atas kondisi dan situasi sekolah kita, kiranya kita tetap perlu waspada terhadap persoalan ini. Misalnya dengan secara sadar mendesain pendidikan anti kekerasan di sekolah terhadap siswa, khususnya pendampingan yang lebih konkrit kepada para korban.
Secara sistematis, membuat gerakan-gerakan yang lebih praktis dan bisa menjadi acuhan para siswa tentang pentingnya gerakan anti kekerasan melalui cara-cara yang kreatif dan mendorong keberanian para siswa untuk berani menjadi saksi atas perilaku kekerasan yang pernah/ mungkin akan mereka alami pada masa mendatang.
Jika seluruh komunitas sekolah peduli dan menjadikan gerakan anti kekerasan sebagai kebutuhan bersama maka apa yang sering dirindukan para siswa/ alumni bahwa sekolah adalah the second home mereka, menjadi lebih dekat dengan cita-cita daripada sekedar utopia belaka.

Thomas Wibowo guru sma kolese kanisius  http://edukasi.kompasiana.com
27 April 2014 |