MARDIADI : KPAD
Sempat di Tolak dan Tak Dianggap, Akhirnya Mampu Membangun Desa yang Melindungi
Anak
By, Yuyum Fhahni Paryani, Independent
Consultant in Child Protection and Community Based Child Protection
Pengantar: Membangun Kota Layak Anak
bukanlah hanya “jargon” yang didukung berbagai aturan yang tidak membumi,
sehingga menjadi khayalan semata. Bagaimana sebuah Kota/Kabupaten bisa Layak
Anak, kalau desa/kelurahan dimana anak tinggal masih banyak yang tidak layak
untuk anak?.
Hadirnya Kelompok Perlindungan Anak
Desa-KPAD, telah mendekatkan layanan perlindungan anak yang selama ini tidak
dirasakan keberadaannya dimasyarakat. Pentingnya pencegahan dengan sosialisasi
dan promosi tentang hak hak anak dan perlindungan anak dari masyarakat untuk
masyarakat, mampu membangkitkan kesadaran masyarakat
secara utuh, tentang pentingnya anak bagi masa depan. Membangun Perlindungan
Anak Berbasis Masyarakat melalui KPAD itulah jawaban Nyata untuk mewujudkan
sebuah Desa/Kelurahan Layak dan Melindungi Anak.
Tingginya masalah - masalah anak yang
terjadi di desanya membuat Mardiadi (41 tahun) tergugah untuk peduli pada
masalah masalah anak. Baik disengaja atau tidak, tanpa kita sadari ternyata
banyak sekali perilaku-perilaku orang dewasa yang melakukan kekerasan dan melanggar
hak - hak anak. Siapa yang peduli kalau bukan kita yang ada di Desa ini. Tahun
2007, Ia bersama rekan rekan yang peduli sepakat untuk membangun Komite
Pemerhati Anak (KPA) di Desa Logandu, Kec.Karanggayam, Kab Kebumen.
Laki laki berperawakan kurus ini pun
dengan lugas menceritakan bagaimana pengalaman dan tantangan yang Ia hadapi
dalam membangun kesadaran masyarakat sehingga mampu mewujudkan desa yang
melindungi anak. Tidak mudah tentunya, tetapi inilah bentuk kepedulian dan
tanggungjawab kami sebagai orangtua sekaligus warga desa Logandu. Saat ini
terjadinya “perubahan perilaku masyarakat yang melindungi anak; melahirkan
Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak; mendorong tersedianya Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak; ketersediaan anggaran untuk
perlindungan dan partisipasi anak baik di Desa maupun Kab Kebumen.
Kepedulian dan kemampuan laki laki
lulusan Tarbiyah STAINU Kebumen ini, dalam menyampaikan informasi tentang hak
hak anak (Konvensi Hak Anak) dan perlindungan anak (UUPA 23/2002), memahami
bentuk bentuk kekerasan terhadap anak, partisipasi anak, serta melakukan
kegiatan advokasi tidaklah timbul begitu saja. Saat desanya terpilih menjadi
salah satu desa dampingan Plan Indonesia yaitu lembaga yang fokus pada anak,
Ayah 3 putra ini pun bersedia ikut terlibat menjadi relawan sehingga ia sering
mendapat kesempatan terlibat dalam banyak pelatihan dan kegiatan anak di
desanya. Sesuai dengan motto dalam hidupnya “sebaik - baiknya manusia adalah
yang bisa memberi manfaat bagi sesama. Ia pun tak lelah untuk melakukan hal
hal yang bermanfaat buat warga dilingkungannya dengan sukarela
Awalnya, kami banyak mendapat penolakan
baik dari orangtua, pemerintah Desa dan Kecamatan, serta dipertanyakan
keabsahan lembaga. Saat mulai melakukan sosialisasi tentang pentingnya hak hak
anak dan perlindungan anak, banyak orang tua yang menentang, “Wong anak anak ku
dewe, ya hak saya sebagai orang tua. Kalau kamu mencegah anak kulo kerjo neng
jobo, sampeyan iso gantek no?”.
Kami juga ditolak saat membantu proses
penanganan masalah anak di Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga kami dianggap
illegal dan tidak jelas oleh pihak Kepolisian, “Siapa anda, apa maksud dan
tujuan kalian datang ke sini, dan ada kepentingan apa?”. Miris juga rasanya,
kenang Guru MTs ini. Akhirnya kami dibantu oleh lembaga lain (baca;LSM) yang
fokus pada masalah anak dan pada akhirnya kami bisa terlibat dalam proses
penanganannya. Alhamdulillah setelah itu, si anak bisa melanjutkan sekolahnya
lagi
Yang paling susah lanjut Babeh panggilan akrabnya, adalah saat bicara tentang pernikahan anak yaitu adanya perbedaan pada Undang Undang Perkawinan yaitu usia anak minimal 16 tahun, padahal di UUPA usia anak dibawah 18 tahun. Budaya di desa juga sangat mempengaruhi, “kalau anak gadis usianya sudah 20 tahun itu sudah dianggap perawan kasep (perawan tua) dan kalau sudah ada yang minta atau ditembong (dilamar) buat dinikahkan, tidak boleh ditolak, karena takut anaknya bakal jadi perawan tua untuk selamanya. Jadi kami harus melakukan sosialisasi tak hanya dimasyarakat saja tetapi juga kepada petugas KUA Kecamatan. Alhasil pernikahan anak juga sudah berkurang bahkan tidak ada lagi.
Tingginya
angka Drop Out (putus sekolah) anak perempuan juga sudah teratasi. Selain
jauhnya jarak ke sekolah, anak anak sendiri tidak punya motivasi yang tinggi
untuk melanjutkan sekolah. Tamat SD biasanya mereka tidak mau melanjutkan, dan
lebih memilih kerja ke luar dari Desa. Kalau sudah ketemu cowok, pulang ke
Desa, kemudian mereka menikah. Melalui KPAD, Mardiadi berhasil
mensosialiasaikan pentingnya pendidikan dan mendorong pemerintah dalam
membangun sekolah yang dekat dengan desa, sehingga akses sekolah menjadi lebih
dekat. Sekarang anak perempuan sangat tinggi keinginannya untuk melanjutkan
sekolah lagi. Kalau pun ada yang DO atau tidak melanjutkan sekolah, itu hanya
lebih disebabkan faktor ekonomi semata-mata. Kondisi sekarang malah terbalik,
anak laki laki yang banyak bekerja dan tidak melanjutkan sekolah. Ini jadi
masalah juga karena terjadi diskriminasi juga terhadap anak laki laki.
Mardiadi
juga menceritakan bagiamana perilaku Ibu Ibu di desa yang sering melakukan
kekerasan verbal pada anak, “kalo bahasa Kebumen dibilang di goblok globok ke
dan suka membanding bandingkan anaknya dengan anak orang lain”.
Nah
kalau anaknya mendengar, pasti ada dampak pada anak tersebut. Tapi sekarang
sudah tidak lagi seperti itu dan sudah sangat terbangun komunikasi antar anak
dan orang tua secara terbuka. Kekerasan terhadap anak juga sangat minim, bahkan
sudah sangat jarang. Ia pun menambahkan informasi terkait dengan pemenuhan atas
Hak Identitas anak, alhamdulillah saat ini hanya tinggal 0.05% saja yang belum
punya akte, itupun dikarenakan faktor tehnis dan sedang dalam proses
penyelesaian.
Kerja
keras suami dari Kartem ini memang membuahkan hasil yang manis. Seringnya
sosialisasi yang kami lakukan, masyarakat mendapat pengetahuan yang baik
tentang anak, pemerintah desa pun semakin paham apa peran dan fungsi kami
dimasyarakat. Penolakan tentang KPAD adalah organisasi yang dibentuk oleh Plan
pun mulai memudar, kekhawatiran anaknya akan dibawa keluar negeri pun hilang.
Pemdes semakin menyadari bahwa KPAD (Kelompok Perlindungan Anak Desa) ini
memang Lembaga yang sangat diperlukan dan adalah milik Desa. Berdasarkan
kesepakatan bersama kami menggantikan nama KPA menjadi KPAD dan menghindari
terjadinya keberagaman nama kedepan. KPAD menjadi organisasi kuat dan
terorganisir, ada struktur yang jelas, ada dokumen kerja, ada alur layanan
perlindungan anak, dokumentasi kegiatan, menjadikannya layak menjadi institusi
Desa. Akhirnya, di tahun 2011 Pemdes pun mau mengeluarkan SK tentang Kelompok
Perlindungan Anak Desa yang diakui sebagai salah satu lembaga Desa, yang
mengacu pada UUPA yang menjelaskan peran masyarakat dalam penyelenggaraan PA dan
Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 9 Tahun
2007 tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa, Kelurahan
di Kebumen. “Tidak ada alasan KPAD tidak ada cantolan aturan hukumnya”, tegas
Ketua KPAD ini.
Apalagi
setelah mendapat SK Desa, peran kami untuk perlindungan anak semakin mudah.
Kami bisa mendompleng kegiatan di Desa, dengan kata lain “sosialiassasi dengan
banyak media dan efisiensi biaya. Dipertemuan Desa, RW dan RT maupun kegiatan
dan hajatan-hajatan Desa. Kedudukan sebagai tokoh agama di desa Logandu, sering
diminta untuk memberikan ceramah-ceramah di Desa. Pada kesempatan apapun, pria
yang hobby membaca dan berorganisasi ini, selalu menyelipkan pesan tentang hak
hak anak dan perlindungan anak. Memang kerja KPAD ini kan lebih banyak pada pencegahan
(80%) dan penanganan/merujuk kasus saja sekitar 20%.
Sekarang
KPAD sudah bisa diterima baik di Kepolisian, Kejaksaan dan juga Pengadilan.
Kami sering diundang saat ada kegiatan bersama aparat penegak hukum di tk
Kabupaten, sehingga terjalin komunikasi yang aktif dan saling mengenal. Bahkan
kami sudah bisa berkontak langsung dengan Polres kalau masalah anak yang tidak
dapat diselesaikan di Tk Polsek.
ADVOKASI ANGGARAN, PERDES DAN PERDA
PERLINDUNGAN ANAK
Perjuangan Mardiadi untuk membuat KPAD
sebagai organisasi yang diakui dan berkelanjutan, ternyata masih belum selesai,
dalam melaksanakan amanat perlindungan anak. Saat mengajukan
anggaran untuk KPAD di Desa melalui RKA (Rencana Kerja Anggaran), pemerintah
kecamatan mempertanyakan kembali siapa itu lembaga KPAD karena dianggap sebagai
organisasi yang dibuat oleh Plan dan aturannya juga adalah aturan Plan. Saat
itu dipanggil untuk menghadap Pak Camat, ia tak ciut nyali, bahkan sudah siap
membawakan buku UUPA 23/2002 yang disahkan oleh Ibu Megawati sebagai Presiden
RI dan bukan aturan dari Plan Indonesia. Saya juga membawa PERDA tentang
Kelembagaan Desa dan Pengelolaan Keuangan Desa, biar nyambung. Saya jelaskan
dan tunjukkan aturan aturannya, barulah Pak Camat mengerti dan setuju untuk
memberikan anggaran operasional bagi KPAD tahun 2012. Selanjutnya, dari 15 KPAD
yang difasilitasi oleh Plan Indonesia di Kebumen, kami menginisiasi pembentukan
Forum KPAD di tingkat Kabupaten dan Alhamdulillah, tahun 2012 Forum KPAD
terbentuk dan mendapat dukungan dari BPPKB dengan menyediakan ruang untuk
Sekretariat Forum KPAD tk Kabupaten. Saya dipercaya sama teman teman menjadi
Ketua Forum KPAD tk Kabupaten.
Melalui KPAD kami berhasil mendorong
pembuatan PERDES Perlindungan Anak di Desa yang mengatur tentang pemenuhan hak
hak anak di Desa. Baik tentang pemberian akte kelahiran; wajib mencegah adanya
usia pernikahan anak dan tidak menggunakan bahasa melarang pernikahan anak pada
PERDES PA, karena ada kaitannya dengan UU Perkawinan tahun 1974; tentang
pekerja anak, perlu dketahui lebih lanjut dengan siapa anak itu bekerja, dengan
siapa dia tinggal ditempatnya bekerja, dan nomor yang bisa dihubungi jika ingin
berkomunikasi; kami juga membuat jam belajar anak yang dibuat berdasarkan
kesepakatan dengan Komite Sekolah dan Guru yaitu jam 19 – 20 WIB. Orang tua
juga dipastikan untuk mendampingi anak saat anak-anak belajar. Jangan saat
anaknya belajar, orang tua sibuk nonton TV atau sibuk sendiri; partispasi anak
dalam kegiatan desa dan proses prencanaan di tingkat desa juga menjadi prioritas;
dan lain sebagainya.
Kami juga sadar, bahwa Plan Indonesia
tidak akan selamanya ada dan mau selesai di Kebumen (phase out). Kami bersama
Plan melakukan advokasi ke BPPKB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana) serta LSM lokal di Kebumen untuk menginisiasi PERDA (Peraturan
Daerah) tentang Perlindungan Anak, karena memang belum ada di Kebumen. Dalam
pembuatan PERDA ini memakan proses yang cukup panjang dan lama juga mentok
didewan. Setahun perjuangan kami, akhirnya PERDA penyelenggaraan Perlindungan
Anak (PPA) No 3 tahun 2013 di sahkan dan ada klausul yang jelas tentang
kelembagaan KPAD yang diakui sebagai lembaga yang menyediakan layanan
Perlindungan Anak di Desa.
Untuk memperkuat pelaksanaan PERDA PPA,
harus dilanjutkan dengan pembuatan PERBUB yang mengamanatkan bahwa setiap
Desa/Kelurahan harus membentuk KPAD/K. Namun, setelah ada PERDA dan PERBUB
kebijakan ini belum bisa berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Kami pun
bersama BPMPKB ditahun 2015 ini mengadakan pertemuan lintas sektoral antar SKPD
dan meminta SEKDA untuk memfasilitasi pertemuan agar semua SKPD mendukung
terbentuknya KPAD/K di semua Desa. Hingga kini sudah terbentuk 84 KPAD/K di
Kebumen dan tahun 2016 ini diharapkan seluruh desa di Kebumen sejumlah 449 KPAD
terbentuk. Setelah ada payung hukum, ditahun 2015, KPAD sudah mendapat dukungan
anggaran sebesar Rp 80 juta, Forum Anak Rp 70 juta dan untuk pemenuhan PA Rp
125 juta. Sekarang, KPAD sudah menjadi partnernya pemerintah untuk
memfasilitasi pembentukan KPAD di desa desa lain serta terlibat aktif jika ada
masalah masalah anak
MENINGKATKAN PARTISIPASI ANAK DALAM
PEMBANGUNAN
Mardiadi menjelaskan bahwa peran lain
dari KPAD adalah menjadi pendamping kelompok anak dan bagaimana menjadikan anak
mampu dan berdaya. Sebagai pendamping anak, Mardiadi selalu mempromosikan
pentingnya suara anak untuk di dengarkan, baik dirumah dan dilingkungannya.
Anak anak pasti bisa, asal
dberi ruang dan kesempatan oleh orang dewasa untuk berperan serta dimasyarakat.
Misalnya, dalam sosialisasi dan promosi hak anak, peran anak sangat penting,
karena melalui teman sebaya akan sangat mudah untuk dimengerti dan dipahami
(peer educator). Ketika anak punya masalah, akan lebih enak kalau mereka
menceritakannya melalui anak. Anak anak juga aktif membuat brosur, pamflet,
stiker, kegiatan seni baik lewat theatre dan drama yang mempromosikan hak hak
anak
Kami sebagai orang dewasa
harus memberi ruang bagi anak untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang kami
wujudkan dalam bentuk partisipasi anak dalam rencana penyusunan pembangunan
desa. Pelibatan anak ini bukan lagi formalitas yaitu hanya datang untuk
“mengamini” dan sekadar hadir saja disitu, tetapi mereka benar benar memberikan
masukan yang jelas dari sudut pandang anak. Dan semua proses sudah kami mulai
pada tingkat dusun dulu, kemudian di tk Desa, kecamatan dan juga Kabupaten. Kan
sekarang Forum anak sudah ada dari tk Desa, Kecamatan hingga Kabupaten.*Yy*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar