Kamis, 19 November 2015

KPAD Kebumen

Apa yang kami tuliskan disini adalah sebuah karya besar relawan-relawan Kebumen dalam mengubah paradigma baru. Perlindungan anak sesuai mandat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan upaya Perlindungan Anak adalah tanggungjawab bersama.
Peranserta masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok dalam upaya perlindungan anak sangat dibutuhkan, terlebih saat ini semakin maraknya issu kekerasan terhadap anak bermunculan baik di kota maupun di desa bahkan dipelosok pegunungan.
Hal itulah yang kemudian memunculkan sebuah ide/gagasan bagaimana agar anak-anak terlindungi dan terpenuhi hak-haknya.

Kembali pada pokok  bahasan, KPAD Kebumen lahir berangkat dari kepedulian sosial, kepedulian terhadap nasib para generasi bangsa yang "terabaikan" hak-haknya.
Tulisan ini adalah proses perjalanan panjang dari sebuah gerakan sosial dalam mengubah paradigma masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan anak.
Sebagai awalan, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada:
1. Plan Indonesia atas segala support dan dukungannya selama proses awal lahirnya KPAD.
2. Pemerintah Kabupaten Kebumen yang telah mendukung dan akhirnya melahirkan payung hukum dengan lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak dan Peraturan Bupati Nomor 116 Tahun 2013 tentang Petunjuk Tekhnis Pelaksanaan Perda 3 tentang PPA.
3. Para senior kami khususnya Bung Odi Shalahudin, Mas Hari Pradana. Beliau berdualah yang mengumpulkan data dan dokumen sekaligus menulis sejarah lahirnya KPAD Kebumen. Sekaligus kami mohon ijinnya tulisannya kami muat dalam blog ini.
4. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah membantu kami sehingga sampai saat ini KPAD Kebumen tetap aksis mengemban amanat masyarakat untuk melakukan upaya-upaya perlindungan anak di Kebumen.

Pembaca yang budiman..
Berikut sejarah awal lahirnya KPAD Kebumen......



MASALAH ANAK-ANAK,  MASALAH KITA

Tampaknya, tidak ada satu komunitaspun dapat mengklaim bahwa anak-anak di komunitas mereka bebas dari ancaman masalah. Cobalah cermati kehidupan anak-anak di lingkungan sekitar kita, catatlah situasi dan kondisinya secara mendalam, benarkah anak-anak tidak terancam dengan berbagai masalah? Sebagian besar bahkan dapat menemukan bahwa anak-anak telah terjerat dan menghadapi berbagai masalah.

”Ketika ada orangtua melakukan, katakanlah mau mendisiplinkan anak dengan membentak dan mengancam, ini kan (biasanya) dianggap kasus kecil yang dikatakan sudah menjadi pola di masyarakat. Di setiap desa banyak persoalan tentang anak, utamanya yang (dianggap) kecil-kecil itu tadi. Sebagai contoh ketika anak berkelahi dengan anak, kedua orangtua bercerai dan sudah punya anak atau ketika anak dipukul oleh gurunya.” demikian dikatakan Suparlan dari KPAD Kajoran.

Masalah yang dianggap sebagai kasus kecil, kerapkali terabaikan dari perhatian. Hal ini menyebabkan situasi terus berlangsung, menjadi kebiasaan yang hidup di masyarakat. Kasus kekerasan terhadap anak adalah salah satu contoh yang sering terjadi baik di dalam rumah, lingkungan tempat tinggal dan di sekolah.

Contoh kasus lain adalah  putus sekolah atau tingkat pendidikan yang rendah, bagi sebagian masyarakat dapat dianggap bukan sebagai masalah. Demikian pula dengan keterlibatan anak-anak di dalam dunia kerja, yang tidak sebatas membantu orangtua, melainkan dipekerjakan di luar wilayah tempat tinggal mereka dan adanya pernikahan pada usia yang masih dalam batas umur anak. 


Dulu kita hidup dalam keluarga besar, semua kumpul dalam satu rumah, ada nenek sampai cucu, mantu, semua kumpul. Kakek nenek masih bisa mengasuh cucu, kadang-kadang cuma ikut mengawasi saja. Sekarang kan sudah jarang, anak itu hanya milik ibu bapak mereka saja. Makanya kadang-kadang ada orang tua yang bilang “anak anak ku dhewek, arep tak gebuki yo urusanku.” Dulu tidak begitu. (Sanmohari, 73 tahun, Pak Kaum Dusun Wanayasa, Karangmaja)

Bila pengertian masalah dipahami sebagai kesenjangan antara harapan dengan kenyataan maka masalah yang diungkap tentunya merujuk pada pengalaman kehidupan sehari-hari dengan berpijak pada pandangan atau nilai-nilai tertentu yang telah tertanam. Di antaranya dipengaruhi oleh kebiasaan, nilai-nilai sosial-budaya, adat-istiadat, dan pemahaman terhadap ajaran agama. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya di dalam menempatkan masalah-masalah anak.

Dunia terus bergerak. Manusia selalu memimpikan dan berusaha mewujudkan situasi yang dinilainya lebih baik. Pasca perang dunia pertama, seorang aktivis perempuan, Eglantine Jebb, melihat bahwa korban peperangan  sangat merugikan terutama bagi kehidupan perempuan dan anak-anak. Ia merumuskan deklarasi hak-hak anak pada tahun 1923, yang kemudian diadopsi oleh Liga Bangsa-bangsa pada tahun 1924. Perumusan hak-hak anak terus berlangsung hingga pada tahun 1989, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Hak Anak (KHA).

Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Artinya, Indonesia telah menyatakan persetujuan dan mengikatkan diri untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam KHA.

KHA mengatur tentang hak-hak yang harus dijamin untuk dihargai, dilindungi, dan dipenuhi. Sebagai bagian dari HAM, ketentuan KHA disebut pula sebagai standar minimal yang berlaku universal. Artinya, hak-hak yang didapatkan anak, setidak-tidaknya sesuai dengan ketentuan yang diatur, tidak boleh kurang, namun suatu negara boleh memberlakukan standar yang lebih tinggi.

Indonesia juga telah mengesahkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), sebagai upaya untuk menindaklanjuti pelaksanaan KHA.

Ada berbagai instrumen internasional yang terkait dengan hak anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, berbagai peraturan perundang-undanganterkait hak anak juga telah banyak bermunculan. Hal ini merupakan perkembangan menggembirakan bagi kehidupan anak-anak.

Ketika kita menggunakan KHA dan UUPA sebagai dasar utama yang didukung oleh berbagai instrumen Hak Anak dan peraturan Perundang-undangan terkait, maka kandungan yang terdapat dalam instrumen dan peraturan perundangan itulah yang menjadi acuan dasar untuk memetakan masalah-masalah anak di sekitar kita.

Nah, cobalah pelajari apa saja hak-hak anak yang diatur dalam instrumen dan peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya, bandingkan dengan situasi kehidupan anak-anak di desa anda. Apakah ada masalah-masalah anak? Apa saja masalah-masalah yang mereka hadapi?

Masalah anak, bukan hanya sekedar masalah anak. Ia juga bisa berdampak pada kehidupan suatu masyarakat. Maka, menjadikan masalah anak sebagai masalah bersama, untuk menjaga, melindungi dan memenuhi hak-hak mereka, menuju kehidupan yang lebih baik, tentunya akan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat.


ANAK SEBAGAI PEMEGANG HAK

Anak, adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Ketentuan yang tertuang dalam KHA, sudah diadopsi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Tidak perlu khawatir bila di dalam kehidupan sehari-hari dijumpai adanya perbedaan mengenai batasan atau pengertian tentang anak. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh situasi sosial-budaya dan atau agama. Jadi, tidak perlu dibenturkan.

Batasan umur anak yang diatur dalam KHA dan peraturan perundangan dilekatkan dalam hubungan dengan hukum. Ini menjadi acuan bagi kita saat melakukan pendampingan atau penanganan kasus anak. Anak, karena posisinya sebagai anak, memiliki hak-hak khusus yang sebagian tidak dimiliki oleh orang dewasa. Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak memang dibedakan dengan orang dewasa.

Berdasarkan konsep dasar Hak Asasi Manusia, relasi yang diatur di dalam KHA adalah antara Negara (pengelola negara) dengan anak. Hubungan ini memposisikan Negara sebagai pemangku kewajiban dan Anak sebagai pemegang hak.

Sebagai pemangku kewajiban, Negara memiliki kewajiban untuk mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Apabila negara tidak melaksanakan kewajibannya, yakni: tidak melakukan tindakan atau melakukan pembiaran pada saat negara harus melakukan tindakan atau  melakukan tindakan pada saat negara seharusnya tidak mengambil tindakan, maka negara dapat dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap hak anak.

Anak sebagai pemegang hak, memiliki hak-hak yang tidak bisa direnggutkan oleh siapapun, harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Apa saja hak-hak yang dimiliki oleh anak? Bila kita mengacu kepada KHA yang terdiri dari 54 pasal, kandungan isinya dapat lebih mudah dipahami melalui pengelompokkan yang dilakukan oleh Komite Hak Anak PBB. KHA dikelompokkan menjadi delapan kluster/kelompok, yakni:

1.      Langkah-langkah implementasi umum
2.      Defisini anak
3.      Prinsip Dasar
4.      Hak Sipil dan Kemerdekaan
5.      Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6.      kesehatan dan kesejahteraan dasar
7.      Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8.      Perlindungan Khusus

NO.
URAIAN
PASAL
I.
Langkah-Langkah Implementasi Umum
4

1.       Pelaksanaan mengenai penyebarluasan KHA
42

2.       Pelaksanaan mengenai penyebarluasan laporan
44 (6)
II.
Definisi Anak
1
III.
Prinsip-Prinsip Umum


1.      Non-diskriminasi


2.          Kelangsungan hidup dan perkembangan
6

3.          Penghargaan atas pendapat/pandangan anak
12

4.          Yang terbaik untuk anak
3
IV.
Hak dan Kemerdekaan Sipil


1.       Nama dan kewarganegaraan
7

2.       Pelestarian identitas
8

3.       Kebebasan berekspresi
13

4.       Akses terhadap informasi yang layak
18

5.       Kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama
14

6.       Kebebasan berserikat
15

7.       Perlindungan atas kehidupan pribadi
16

8.       Penyiksaan dan perampasan kebebasan, inhuman, degrading treatment or punishment
37 (a)
V.
Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif


1.       Bimbingan orang tua
5

2.       Tanggungjawab orang tua
18 (1-2)

3.       Pemisahan dengan orang tua
19

4.       Berkumpul lagi dengan keluarga
10

5.       Pemulihan pemeliharaan anak
27 (4)

6.       Anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga
20

7.       Adopsi
21

8.       Pemindahan ilegal dan terdampar di luar negeri
11

9.       Kekerasan dan penelantaran (19), termasuk pemulihan fisik dan psikologis serta rintegrasi sosial (39)
19, 39

10.    Peninjauan periodik atas penempatan
25
VI.
Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar


1.       Kelangsungan hidup dan perkembangan
6 (2)

2.       Anak penyandang cacat
23

3.       Kesehatan dan pelayanan kesehatan
24

4.       Jaminan sosial serta pelayanan dan fasilitas perawatan
26, 18 (3)

5.       Standart kehidupan
27 (1-3)
VII.
Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya


1.       Pendidikan, termasuk latihan dan bimbingan kejuruan
28

2.       Tujuan pendidikan
29

3.       Waktu senggang, rekreasi dan kegiatan budaya
31
VIII.
Langkah-Langkah Perlindungan Khusus


1.   Anak dalam situasi darurat:
(a)     Pengungsi anak

22

(b)     Anak dalam konflik bersenjata termasuk Pemulihan fisik dan psikologis serta rintegrasi social
38, 39

2.  Anak yang berkonflik dengan hukum


(a)     Administrasi pengadilan anak
40

(b)     Anak yang direnggut kebebasannya, termasuk segala bentuk penahanan, pemenjaraan atau penempatan dibawah pengawasan
37 (b,c & d)

(c)     Penetapan hukum terhadap anak, khususnya pelarangan hukuman mati atau penjara seumur hidup
37 (a)

(d)     Pemulihan fisik dan psikologis serta reintegrasi sosial
39

3.  Anak dalam situasi eksploitasi, termasuk pemulihan fisik dan psikologis serta reintegrasi social
39

(a)     Eksploitasi ekonomi termasuk pekerja anak
32

(b)     Penyalahgunaan obat bius
33

(c)     Eksploitasi dan kekerasan seksual
34

(d)     Bentuk-bentuk eksploitasi lainnya:
36

(e)     Penjualan, perdagangan dan penculikan
35

4.       Anak kelompok minoritas dan masyarakat adapt
30


ANAK HARUS DILINDUNGI

Mengingat bahwa, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1959,  “anak, berhubung ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum selayaknya, sebelum dan sesudah kelahiran,”

Mengakui bahwa, di semua negara di dunia, terdapat anak-anak yang hidup dalam kondisi yang sangat sulit, dan anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus,

Memperhatikan, arti penting nilai-nilai tradisi dan budaya dari setiap bangsa dari perlindungan dan pengembangan anak yang harmonis,

(Mukadimah KHA)


Beberapa pernyataan di dalam Mukadimah KHA yang dikutip di atas, telah menjelaskan alasan atau dasar tentang perlunya perlindungan terhadap anak-anak. UUPA, pasal 1 ayat 2 memberikan pengertian tentang perlindungan anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (UUPA, pasal 1 ayat 2)

Mengacu kepada pengertian di atas, perlindungan anak berarti tidak terbatas pada melindungi anak dari ancaman kekerasan dan diskriminasi melainkan juga ada tanggung jawab untuk memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan kapasitas dirinya. Artinya ada proses pendidikan bagi anak. 

Jika KPAD menetapkan dasar dan kerangka kerja mengacu kepada Konvensi Hak Anak dan UUPA, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan (hak) anak, kita dapat mencermati ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya.


Mengacu kepada Pasal 19 Konvensi Hak Anak, perlindungan anak adalah hak anak untuk dilindungi dari:
·         Segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, dan luka (injury)
·         Penyalahgunaan (abuse)
·         Penelantaran (Neglect)
·         Perlakuan penelantaran (neglient treatment)
·         Perlakuan lalai (maltreatment)
·         Eksploitasi termasuk penyalahgunaan seksual (sexual abuse)


Pengalaman yang terjadi, pada awalnya, KPAD memfokuskan diri hanya merespon masalah kekerasan terhadap anak. Perkembangan yang terjadi di berbagai desa, memaksa KPAD untuk memberikan respon terhadap masalah-masalah anak yang lain, terutama yang berhubungan dengan perlindungan khusus, terutama anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban penyalahgunaan Napza, dan anak korban kekerasan seksual. Hal mana,  ini masuk kategori perlindungan khusus.

UUPA, Pasal 59 mengatur tentang perlindungan khusus yang  meliputi:
·         anak dalam situasi darurat;
·         anak yang berhadapan dengan hukum;
·         anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
·         anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
·         anak yang diperdagangkan;
·         anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza);
·         anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;
·         anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental;
·         anak yang menyandang cacat; dan
·         anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Tentu saja, perhatian utama diarahkan kepada masalah atau kelompok anak yang menonjol yang digali secara bersama-sama, dengan tetap mencermati masalah-masalah lainnya dengan melakukan langkah-langkah pencegahan agar masalah-masalah tersebut tidak mengemuka.

Hal penting dalam upaya perlindungan anak, sesungguhnya, adalah bagaimana mengembangkan perubahan mendasar bagi masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak serta mendukung pengembangan kapasitas anak agar dapat tumbuh sesuai dengan tingkat usia dan perkembangannya.

Seorang aktivis Ornop yang selama ini intens mendampingi KPAD menyatakan bahwa hak anak merupakan nilai-nilai baru yang harus dibumikan ke dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya KPAD harus mampu berperan sebagai katalisator yang mendorong terjadinya perubahan di dalam masyarakat. Di dalam hal ini, perubahan pandangan, sikap, dan tindakan-tindakan yang sensitif dan ramah anak.

Pada praktek pengalaman kerja KPAD, kerapkali terjadi kesalahpahaman masyarakat dalam meletakkan posisi perlindungan anak. Perlindungan dianggap sebagai pembenaran bagi anak untuk melakukan tindakan apapun tanpa adanya resiko untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya tersebut. Komentar yang bermunculan lebih bernada kekhawatiran bahwa anak akan menjadi liar, bersikap semaunya, dan membangkitkan keberanian untuk melawan orangtua. Di sisi lain, terjadi pembiaran karena orangtua khawatir bila melakukan sesuatu akan dipersalahkan dan dapat dilaporkan.

”Masyarakat merasa takut jika melakukan tindakan-tindakan tertentu akan dilaporkan ke KPAD atau dapat tersangkut kasus hukum,” demikian dinyatakan oleh pelaksana perlindungan anak Plan Kebumen.

Pemahaman demikian, tentu saja perlu diluruskan. Perlindungan anak bukan berarti melakukan pembiaran. Jika anak melakukan kesalahan, anak dapat dikenai hukuman. Hanya saja hukuman yang diberikan adalah penghukuman positif yang tidak menciderai dan merugikan perkembangan kapasitas anak. Bila anak dibiarkan melakukan kesalahan-kesalahan serupa tanpa adanya sikap dari orangtua, maka sesungguhnya yang terjadi adalah kita telah melepaskan tanggung jawab. Ini akan merugikan perkembangan kapasitas anak untuk berkembang lebih baik.

Jaman dulu anak belajar ya dari hidup sehari-hari bersama kelompok masyarakat lain. Orang tua membimbing anak langsung pada praktek, seperti dalam gotong-royong. (Sanmohari, 73 tahun, Pak Kaum Dusun Wanayasa, Karangmaja)

Upaya perlindungan anak sebaiknya dilekatkan dengan pendidikan. Orangtua dan masyarakat turut bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan bagi anak dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Ada baiknya dicermati tujuan pendidikan yang diatur dalam KHA, pasal 29 dan dipraktekkan pada proses pendidikan yang tidak terbatas pada pendidikan formal atau sekolah, melainkan pendidikan dalam kehidupan sehari.

Tujuan pendidikan dalam Konvensi Hak Anak
Pasal 29

1. Negara-negara Peserta setuju bahwa pendidikan anak akan diarahkan kepada:
(a) Pengembangan sepenuhnya potensi kepribadian, bakat serta kemampuan mental dan fisik pada anak;
(b) Pengembangan sikap hormat orang tua anak, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya, nilai-nilai nasional negara di mana anak tinggal, negara di mana anak mungkin berasal, dan kepada peradaban yang berbeda dari peradabannya;
(c) Persiapan anak untuk kehidupan  bertanggung jawab dalam masyarakat yang bebas, dengan semangat saling pengertian, perdamaian, saling menghargai, kesetaraan antara jenis kelamin, dan persahabatan antar bangsa, kelompok etnis kewarganegaraan dan agama serta penduduk asli;
(d) Pengembangan sikap hormat terhadap lingkungan alam.

 
*) bersambung.. edisi berikutnya "Tanggungjawab Masyarakat" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar