Rabu, 16 April 2014

Jenis dan bentuk kekerasan terhadap anak


Lebih mudah bagi guru jika semua siswa duduk manis mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas. Namun hal itu tidak bisa selalu diharapkan terjadi. Sebaliknya seringkali guru merasa jengkel atas perilaku siswa sehingga mendorongnya untuk melakukan praktik kekerasan dalam mengelola perilaku siswa di dalam kelas. Kejadian yang umum, bisa mulai dari sekedar memarahi, mencaci maki, menjewer telinga, mencubit, memukul dengan tangan atau alat, ataupun memberikan bentuk hukuman lainnya seperti berdiri dengan satu kaki, membersihkan WC sekolah, dsb. Persoalannya, apakah memang pengelolaan kelas harus bertumpu pada hukuman semacam itu agar siswa dapat belajar dan berkembang dengan optimal ?
Materi ini akan mengajak para guru untuk berefleksi dan coba memperbaiki cara pengelolaan kelas atau mendisiplinkan siswa tanpa kekerasan.

A.     Anak dan perilaku “salah”

Menyikapi perilaku anak yang nakal/salah atau tak disukai guru, pertama-tama kita harus bertanya, “SALAH” menurut siapa dengan standar/definisi apa ? Seringkali guru atau orang dewasa menggunakan standar orang dewasa yang terlalu tinggi untuk diterapkan pada prilaku anak. Menulis dengan tangan adalah perkara sepele bagi kita.  Tapi ingat kembali ketika kita umur 5 tahun. Menulis adalah tugas maha berat di mana untuk menyelesaikan 1 baris tulisan kita bisa menghabiskan 5 menit bahkan lebih!
Jadi sebelum kita menyimpulkan anak ini nakal atau bodoh atau malas, selalu ingat perkembangan anak. Dalam perkembangannya, anak menjalani proses belajar yang luar biasa. Dan penelitian membuktikan bahwa anak belajar antara lain melalui “kesalahan” yang diperbuatnya, misalnya:
§  melalui cara coba-ralat
§  dengan menguji batasan-batasan yang ia temukan di lingkungan
§  melalui proses yang oleh orang dewasa sering dianggap bentuk “perilaku salah” seperti berselisih dengan teman.

Padahal itu semua merupakan proses belajar yang normal dan dibutuhkan anak untuk perkembangan yang optimal. Pikirkan bahwa dengan berselisih, anak belajar mengenal dirinya dan sudut pandang orang lain, belajar melatih pemecahan masalah, dsb. Anak juga belum berada pada situasi orang dewasa di mana anak mungkin belum pandai memahami sudut pandang orang lain – hal ini membutuhkan kemampuan kognitif/mental yang lebih tinggi. Anak juga belum memiliki prioritas dalam tujuan hidupnya sehingga terarah sebagaimana layaknya orang dewasa. Akhirnya, anak juga masih mengembangkan konsep diri dan harga dirinya yang positif (lihat pula bacaan di bagian perkembangan anak/ Pedoman Pelatihan untuk Guru tentang Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah, 2006).

Kesimpulan : Dalam bekerja/mengajar seseorang mungkin kelebihan beban, lelah, frustrasi, stres; semua ini adalah sesuatu yang wajar dialami oleh setiap orang misalnya guru. Guru mungkin pula berpandangan bahwa cara paling efektif mendidik anak adalah dengan cara disiplin yang keras, karena masih ada keyakinan atau persepsi bahwa kekerasan diperlukan untuk mendorong kedisiplinan dan pendidikan yang efektif. Guru perlu meningkatkan efektifitas pribadinya, belajar alternatif mendisiplinkan anak secara positif serta saling mendukung dengan seluruh unsur pelaku pendidikan dalam konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). 
B.     Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Menurut Konvensi Hak Anak yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres 36/1990, salah satu hak anak adalah perlindungan dari perlakukan salah, eksploitasi, penelantaran, kekerasan (Ps. 19). Sementara dalam UU Perlindungan Anak, Ps. 13 merupakan pasal yang paling khusus membahas perlindungan anak terhadap penelantaran, perlakuan kejam termasuk kekerasan dan penganiayaan secara fisik/ mental/sosial, serta perlakuan salah lainnya seperti pelecehan dan perbuatan tidak senonoh.
Tampak dari informasi di atas bahwa ada sejumlah istilah yang berdekatan pengertiannya. Walaupun tampaknya seperti telah jelas dipisahkan, namun ada baiknya kita tinjau kajian yang lebih teoritis mengenai persoalan kekerasan (violence) dan perlakuan salah (abuse) terhadap anak. Dalam situs resminya WHO (World Health Organization) menjelaskan apa yang tertuang dalam KHA mengenai child abuse and neglect yang dalam bahasa Inggris disetarakan dengan child maltreatment, (Ind: Perlakuan salah) dan didefinisikan sebagai “All forms of physical and/or emotional ill-treatment, sexual abuse, neglect or negligent treatment or commercial or other exploitation resulting in actual or potential harm to the child’s health, survival, development or dignity in the context of a relationship of responsibility, trust, or power” (WHO, 1999; forthcoming [2002]). (Terjemahan bebas Bahasa Indonesia: Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan dan lengsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan).
Pengertian lain perlakuan salah (child abuse) pada anak adalah : “Perilaku orangtua/wali, pengasuh, guru, orang dewasa lainnya yang salah sehingga mengakibatkan luka atau bahaya/resiko fisik atau psikis/batin pada si anak” (terjemahan bebas dari Hay, 1997; Bautista dkk, 2001). Karena sifatnya yang bisa “melukai” anak, maka perlakuan salah juga kerap disebut sebagai kekerasan pada anak. Dalam proses pelatihan (selain dalam pokok bahasan dan bacaan bagian ini), modul ini secara singkat dan konsisten menggunakan istilah kekerasan saja.
Dalam perlakuan salah pada anak terkait pengkhianatan si pelaku terhadap kepercayaan anak kepada pelaku dan penyalahgunaan kewenangan orang tsb terhadap si anak, jenisnya bermacam-macam :

1.       Kekerasan secara fisik (physical abuse) 
Secara sengaja dan paksa dilakukan terhadap bagian tubuh anak yang bisa menghasilkan ataupun tidak menghasilkan luka fisik pada anak. Contohnya memukul, mengguncang-guncang anak dengan keras, mencekik, menggigit, menendang, meracuni, menyundut anak dengan rokok, dsb. Jenis ini seringkali terjadi atas nama disiplin yang dilakukan dengan cara hukuman fisik dan menjadi salah satu fokus dalam modul ini karena seringnya dilakukan dalam konteks sekolah (corporal punishment).

2.       Kekerasan secara seksual (sexual abuse) 
Terjadi jika anak digunakan untuk tujuan seksual bagi orang yang lebih tua usianya. Misalnya memaparkan anak pada kegiatan/perilaku seksual, atau memegang/meraba anak atau mengundang anak untuk melakukannya. Termasuk di sini adalah penyalahgunaan anak untuk pornografi (penggunaan anak dalam gambar/tulisan/film porno untuk tujuan membangkitkan nafsu seks), pelacuran, atau bentuk eksploitasi seksual lainnya.

3.      Kekerasan secara emosional (emotional abuse)
Meliputi serangan terhadap perasaan dan harga diri anak. Perlakuan salah ini juga sering luput dari perhatian, padahal kejadiannya sangat sering karena biasanya terkait pada ketidakmampuan dan atau kurang efektifnya orangtua/guru/orang dewasa dalam menghadapi anak. Bentuknya bisa mempermalukan anak, penghinaan, penolakan, mengatakan anak “bodoh, “malas”, “nakal”, menghardik, menyumpahi anak dan masih banyak sekali contoh lain.

4.      Penelantaran anak (neglect)
Terjadi jika orangtua/wali/pengasuh/orang dewasa tidak menyediakan kebutuhan mendasar bagi anak untuk dapat berkembang normal secara emosional, psikologis dan fisik. Misalnya jika anak tidak diberi makan, pakaian, tempat berteduh, pengobatan, perlindungan standar yang dibutuhkan anak. Bentuk ini seringkali luput dari perhatian walaupun dampaknya juga bisa sama seriusnya dengan bentuk perlakuan salah lainnya.

Beberapa literatur dan WHO juga memasukkan semua bentuk eksploitasi seperti pekerja anak dan anak jalanan sebagai salah satu bentuk perlakuan salah terhadap anak. Tanpa maksud membatasi pembahasan, manual ini hanya berfokus pada hal-hal yang lebih relevan untuk konteks sekolah.
Sudah disinggung di atas siapa saja yang dapat melakukan perlakuan salah kepada anak. Walaupun kebanyakan pelaku adalah orang yang dekat dengan anak dan berusia lebih tua daripada anak  – karena mereka umumnya punya posisi “lebih” daripada anak, namun jangan lupa bahwa perlakuan salah juga bisa dilakukan oleh anak terhadap teman sebayanya. Umumnya hal ini bersifat emosional dan fisik, dan yang dianggap cukup serius untuk dicermati adalah bentuk kekerasan fisik oleh teman sebaya di lingkungan sekolah/tetangga yang disebut dengan “bullying”. Tak ada istilah Indonesia yang tepat untuk menggantikan “bullying”, namun secara sederhana dapat disejajarkan dengan pemerasan/pemeloncoan/premanisme/ pemalakan/eksploitasi oleh sesama teman. Contohnya ketika seorang anak dipaksa untuk memberikan uang kepada temannya, atau ia dipaksa mengerjakan PR temannya; biasanya disertai dengan ancaman seperti dikucilkan atau bahkan ancaman fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar