Selasa, 15 April 2014

DAMPAK KEKERASAN TERHADAP TUMBUH KEMBANG ANAK


Dorothy Law Nolte mengungkapkan beberapa kenyataan tentang anak dalam puisi berikut:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan yang baik, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dan kehidupan

Dari pemikiran dan gambaran-gambaran tersebut maka semestinya muncul tanda tanya pada kita: sudahkah kita memahami ataupun membayangkan akibat dari suatu perlakuan kekerasan baik fisik maupun non-fisik terhadap anak-anak kita? Apalagi kita telah belajar bahwa untuk dapat berkembang optimal anak membutuhkan lingkungan yang kondusif, dan jelas kekerasan sama sekali bukan merupakan bagian dari kebutuhan anak.
Dari teori yang dikemukakan Erik Erikson tentang perkembangan psikososial anak, kita belajar bahwa hingga usia SD anak seyogyanya sudah mengembangkan rasa percaya (trust) kepada lingkungan, berkembang kemandirian (autonomy) dan inisiatifnya serta sudah mulai menunjukkan kompetensinya melalui kegiatan yang produktif. Karena sebagian besar waktu anak dijalani di lingkungan sekolah, maka peran sekolah dan guru sangat penting dalam menunjang perkembangan psikososial anak ini.

A.   Hukuman dengan kekerasan di sekolah ditinjau dari perkembangan psikososial anak

Guru yang gemar menghukum siswa menggerogoti perkembangan psikososial anak. Anak menjadi tidak percaya pada lingkungan dan orang lain, padahal rasa saling percaya antar sesama dan adanya rasa aman merupakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk belajar. Dengan cara hukuman guru juga tidak mengajarkan anak untuk melatih kemampuan mengontrol dirinya sendiri. Sebaliknya guru bertindak sebagai “polisi” yang akan mengawasi perilaku anak dan menghukum tingkah laku yang tak sesuai dengan kehendak guru. Perkembangan anak menjadi insan yang penuh inisiatif juga relatif terganggu karena salah satu latihan berinisiatif adalah dengan mencoba dan berani mengekspresikan diri, yang justru seringkali diinterpretasikan oleh guru sebagai perilaku mengganggu atau bahkan “nakal”, “bandel”, “berani menantang” dsb. Guru seyogyanya memberi ruang yang cukup bagi anak untuk berinisiatif dan mengekspresikan dirinya , namun akan lebih baik jika guru juga bisa menjadi menjadi model perilaku yang sehat. Hukuman dengan kekerasan mengecilkan anak, menghambat inisiatif, mendorong munculnya rasa malu, rasa bersalah, tak berdaya, rendah diri, kemarahan dan dorongan untuk memberontak dan mendendam. Dalam suasana psikologis seperti ini jelas sulit diharapkan anak-anak menumbuhkan kompetensinya dan belajar menjadi insan yang produktif sebagaimana yang seyogyanya dikembangkan pada usia SD.

B.    Siklus pembentukan perilaku dan dampak kekerasan bagi anak

Tampaknya memang cara mendisiplinkan dengan kekerasan akan lebih memberikan hasil langsung, seperti anak berkelahi dengan temannya, lalu kita hukum dengan pukulan rotan di punggung, maka mereka kemudian tidak berkelahi lagi karena takut dihukum. Tapi hasil ini umumnya hanya bersifat sesaat karena faktor penyebab dasar (akar masalah) perilaku anak sendiri tidak terselesaikan melalui cara tsb. Dengan cara hukuman semacam itu, anak juga kurang dirangsang untuk belajar menjadi individu yang lebih baik dan bermartabat.

Misalnya seorang anak sering ribut di kelas dan guru memberikan label si tukang ribut kepada anak. Umpan balik negatif ini akan diterima anak sebagai konsep dirinya sehingga ia justru cenderung melakukan keributan di kelas karena hal itulah yang sesuai dengan dirinya.
Sebaliknya jika kita melihat satu hal positif yang dilakukan anak, misalnya datang tidak terlambat dan kita mengatakan padanya “wah, ibu senang kamu hari ini datang tepat waktu!”, maka konsep diri bahwa ia anak yang rajin datang ke sekolah yang tertanam dan cenderung dipertahankan oleh anak.
Perilaku negatif yang mungkin muncul dalam konteks proses belajar normal bagi anak adalah suatu situasi/gejala jangka pendek. Jika kita merespon secara negatif, apalagi secara berlebihan, tidak tepat dan tidak proporsional terhadap “kesalahan” anak, maka muncullah siklus pembentukan perilaku negatif sebagaimana digambarkan di atas. Dengan kata lain, jika kita mendisiplin dengan cara kekerasan, kita justru mendorong munculnya perilaku negatif.

C.   Dampak Jangka Pendek dan jangka Panjang
Dalam jangka pendek dan/atau terjadi segera, kekerasan pada anak dapat mengakibatkan :
1.       Pada kejadian ekstrim, anak bisa meninggal. Kasus Ari Hanggara di Jakarta pada tahun 1980an tentu masih tersimpan di benak sebagian orang Indonesia.
2.       Masalah fisik sesaat : misalnya karena dihukum berlari mengelilingi lapangan pada siang hari, anak bisa pingsan.
3.      Luka fisik yang tak nyata (luka dalam) : misalnya anak kecil/bayi yang diguncang-guncang terlalu keras dapat mengalami luka organ dalam yang tidak tampak mata (lihat gambar pajangan)
4.    Luka fisik nyata (kasat mata) : luka bekas sundutan rokok, cubitan di kulit yang membiru, dsb (lihat gambar pajangan)
5.  Perasaan dan/atau pikiran negatif pada anak : tidak ada orang yang senang dihukum. Dalam jangka pendek, reaksi langsung seorang anak yang dihukum/diperlakukan salah/dikerasi minimum adalah munculnya rasa tak suka atau perasaan bahwa dirinya bersalah/tak berharga. Dengan kata lain ini adalah luka batin si anak (bacalah buku Sheila karya Torey Hayden).
6. Kemungkinan penguatan perilaku negatif : seperti dijelaskan dalam siklus pembentukan perilaku di atas, dengan hukuman/umpan balik negatif kita seringkali justru memperkuat munculnya perilaku negatif, apalagi jika anak melakukan perilaku negatif untuk mendapat perhatian guru/orangtua.

Selain dampak jangka pendek seperti contoh-contoh di atas, kekerasan juga terbukti memiliki dampak jangka panjang karena cenderung tersimpan dalam ingatan dan ditekan dalam dunia bawah sadar, namun mewarnai kehidupan anak seterusnya. Beberapa contoh dampak :
1.       Harga diri negatif dan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri
2.       Prestasi cenderung tidak tinggi
3.       Gangguan perilaku : ada yang externalizing (agresif, pemarah, berontak, dsb) namun tak kurang pula yang internalizing (depresi, pendiam, menutup diri, dsb)
4.  Gangguan penyesuaian diri dan umumnya kurang mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan pihak otoritas
5.  Bersikap positif terhadap kekerasan dan menganggap kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah yang baik untuk dilakukan
6.       Cenderung menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari
7.    Khusus untuk kekerasan seksual : selain beberapa dampak di atas, kemungkinan juga terjadi gangguan hubungan lawan jenis dan lebih cenderung mengalami gangguan perilaku internalizing.

***disarikan dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar