Pemimpin
seharusnya orang yang bertelinga Ia bukan saja harus dapat mendengar (hearing),
tetapi mampu mendengarkan (listening) Salah satu rahasia kepemimpinan Mary Kay
Ash adalah kemampuannya dalam mendengarkan orang lain. Ia pernah mengatakan
bahwa pada saat ia sedang berusaha mendengarkan orang lain, "Saya akan
menutup mata dan telinga terhadap hal-hal lain. Saya langsung memandang orang
yang berbicara kepada saya. Bahkan andai ada seekor gorila yang berjalan
memasuki ruangan, barangkali saya tidak akan memperhatikannya". Mary Kay
Ash mungkin mendramatisir soal seni mendengarkan ini.
Namun,
ia agaknya benar-benar meyakini bahwa kemampuan mendengarkan merupakan suatu
kemampuan yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinannya. Ketika beberapa
konsultan kecantikan (beauty consultant) yang bekerja di perusahaannya datang
untuk minta nasihat, ia seringkali merasa bahwa yang perlu dilakukannya
hanyalah mendengarkan cukup lama, sampai pihak yang meminta nasihatnya itu
menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang mereka hadapi.
Mendengarkan
adalah seni, sama halnya dengan kepemimpinan. Dan seni tidaklah sepenuhnya
bertalian dengan soal-soal kecerdasan intelektual. Kalau toh seni mendengarkan
ingin dikaitkan dengan soal kecerdasan, maka mungkin ia merupakan bagian dari
kecerdasan emosional (emotional intelligence) atau bahkan kecerdasan spiritual
(spiritual intelligence). Artinya, mendengarkan lebih berurusan dengan telinga
hati ketimbang telinga fisik. Itu sebabnya mendengarkan harus dibedakan dengan
sekadar mendengar. Jika orang memiliki masalah dengan pendengaran fisiknya,
maka ia memerlukan hearing aid, alat bantu mendengar yang bisa dibeli di
beberapa toko.
Namun
jika orang tidak mampu mendengarkan orang lain, ia tidak bisa membeli alat
bantu apapun di toko manapun. Ia hanya perlu menata hati dan pikirannya agar
tidak melanglang buana ketika orang lain sedang berbicara kepadanya.
Dalam
berbagai program pelatihan kepemimpinan, perihal mendengarkan ini juga sering
dilatihkan. Sejumlah teknik diajarkan untuk dipraktekkan berulang-ulang. Namun
saya kira mendengarkan sebagai seni tidaklah bisa dilatihkan. Sebab seni bukan
cara, bukan teknik. Namun tidak berarti latihan mendengarkan tidak perlu.
Latihan dan bahkan disiplin untuk mendengarkan tetaplah perlu, bahkan penting.
Yang ingin saya tegaskan adalah bahwa mendengarkan hanya bisa dilakukan bila
hal itu merupakan keputusan hati. Sebagai teknik, mendengarkan hanyalah soal
menciptakan kesan. Dan mereka yang terlatih untuk bersikap dan berpenampilan
"seperti" orang yang mendengarkan, memang dapat dilatih. Mata kita
dapat dilatih untuk memandang lawan bicara kita. Tubuh kita dapat diatur
posisinya agar terkesan sungguh-sungguh memperhatikan orang lain. Namun pikiran
dan hati kita tidak bisa dipaksa untuk mengikuti penampilan fisik kita, kecuali
bila penampilan fisik itu benar-benar merupakan ekspresi yang jujur dan tulus
dari hati kita.
Sejumlah
pakar ilmu komunikasi dan kepemimpinan sering membedakan soal kemampuan
mendengarkan ini dalam berbagai tingkatan.
Pertama,
kita dapat mendengar (hearing), tetapi sama sekali tidak mendengarkan
(listening). Ini hanya berarti bahwa secara fisik telinga kita normal (tidak
tuli). Misalnya, saat ada demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, sejumlah orang
memberikan semacam orasi dan yang lain mendengar tapi tidak sampai
mendengarkan. Buktinya, banyak orang sibuk sendiri dengan obrolan dan kegiatan
lainnya yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan orasi yang sedang
disampaikan. Jadi, secara fisik mereka mendengar, tapi dalam hati mereka
berkata "emangnya gue pikirin". Juga bila orang sedang mengunjungi
berbagai pameran, ikut sekatenan atau pasar malam, dan sejenisnya.
Pada
saat itu ada banyak suara disana sini, termasuk suara radio, televisi, atau
peralatan multi media yang sedang didemonstrasikan penggunaannya. Namun,
kebanyakan orang yang mendengar tidak pernah mendengarkan, tidak memberikan
perhatian penuh. Apa yang mereka dengar tidak mempengaruhi pikiran dan perilaku
mereka.
Kedua,
kita dapat mendengar tapi tidak sampai mendengarkan ketika kita memberikan
kesan seolah-olah mendengarkan tetapi sesungguhnya tidak. Artinya, kita cuma
pura-pura mendengarkan, cuma basa basi sosial untuk tidak membuat orang lain
tersinggung. Pada tahap ini apa yang masuk dari telinga kanan, langsung keluar
dari telinga kiri. Informasi, keluhan, nasihat, kritik, atau apapun yang
disampaikan lawan bicara kita tidak sampai menetap di otak, apalagi sampai ke
dalam hati. Jadi, pada tahap ini pun keterlibatan pikiran dan hati belum
terjadi. Biasanya inilah yang terjadi saat seorang pegawai mendengarkan
atasannya memberikan pengarahan yang membosankan. Para penatar P-4 di masa Orde
Baru, mungkin banyak didengarkan dalam arti ini juga.
Ketiga,
kita dapat mendengarkan secara amat selektif. Kita mendengarkan juga, tetapi
tidak sampai memahami secara utuh apa yang sebenarnya ingin disampaikan lawan
bicara. Kita hanya sibuk mencari cara untuk memberikan tanggapan balik kepada
lawan bicaranya, entah dengan maksud untuk menyenangkan ataupun dengan maksud
untuk mencari kelemahan dari kata-kata yang disampaikan lawan bicara kita.
Misalnya, dalam diskusi yang sarat dengan adu argumentasi. Pihak-pihak yang
setuju dan pihak-pihak yang berpendapat sebaliknya hanya mendengarkan pihak
lain dalam rangka mencari-cari alasan untuk "memukul balik". Tidak
ada kejujuran dan ketulusan untuk memahami secara sungguh-sungguh. Kita
berusaha mencari pembenaran dari pendapat kita sendiri.
Keempat,
kita dapat mendengarkan secara logika. Pada tahap ini kita sudah melangkah
lebih jauh dari sekadar hearing. Kita mendengarkan dengan "otak",
mampu mengingat/menghafal apa yang dikatakan oleh lawan bicara kita. Jika kita
diminta mengulangi apa yang telah dikatakannya secara verbal, maka kita dengan
mudah akan dapat melakukannya. Sebagian besar mahasiswa, saya kira,
mendengarkan kuliah-kuliah dikampus dalam arti ini. Mereka ikut kuliah dan bisa
menjawab soal ujian semester persis seperti yang dikuliahkan dosen sebelumnya.
Masalahnya, apakah mereka sungguh-sungguh mengerti (understanding) atau baru
sekadar tahu (knowing)?
Kelima,
kita dapat mendengarkan sampai benar-benar memahami apa yang sesungguhnya ingin
disampaikan lawan bicara kita. Pada tahap ini kita mendengarkan dengan tujuan
untuk memahami sepenuhnya. Dan ini tidak saja menuntut keterlibatan pikiran,
tetapi juga ketulusan hati. Sebagian orang menyebut tahap ini sebagai empathic
listening.
Jika
Mary Kay Ash mengatakan bahwa mendengarkan adalah seni, saya kira ia bicara
soal empathic listening di atas. Dan dalam pengertian ini mendengarkan tidak
saja menyangkut soal apa yang didengar secara verbal (kata-kata) atau fisik
(mimik muka yang bisa dibuat-buat), tetapi juga pesan yang disampaikan secara
nonverbal, yakni lewat bahasa tubuh, intonasi, dan kecepatan suara. Lebih jauh,
empathic listening dapat dikatakan upaya mendengarkan dari hati ke hati, bukan
sekadar dari telinga ke telinga atau dari pikiran ke pikiran. Jadi ada
keterlibatan diri secara total.
Mendengarkan
dengan melibatan diri secara total (telinga, pikiran, dan hati) mengandung
sedikitnya dua konsekuensi.
Pertama,
kita harus bersedia membuat pikiran kita terbuka (open mind) untuk dipengaruhi.
Kedua,
karena kita bersedia dipengaruhi, maka kita dimungkinkan untuk mengubah
persepsi awal kita yang mungkin keliru.
Dengan
kata lain, empathic listening membantu kita untuk memahami kerangka pikiran dan
perasaan lawan bicara kita, dan dengan pemahaman itu kita diperhadapkan pada
kemungkinan mengubah persepsi awal kita. Bila persepsi kita berubah, maka kemungkinan
sikap dan perilaku kita pun akan berubah. Inilah, hemat saya, yang tidak
disukai banyak orang. Kita, khususnya orang berusia dewasa, tidak suka berubah.
Kita cenderung mempertahankan apa yang kita miliki, termasuk pandangan dan
sikap dasar kita terhadap persoalan-persoalan hidup. Kita sudah merasa benar,
merasa tahu, merasa mengerti persoalan, dan sikap dasar gede rasa ini menutup
telinga pikiran dan hati kita. Saya kira, proses reformasi yang sedang kita
jalani di negeri ini terhambat oleh ketidakmampuan banyak pihak, terutama para
pemimpin formal (baca: pejabat) di lembaga tertinggi dan tinggi negara untuk
mendengarkan aspirasi rakyat banyak secara empatik. Dari hari ke hari sangat
sulit mencari tanda-tanda (sign) bahwa para pejabat itu benarbenar mendengarkan
pandangan pihak-pihak yang berbeda dengan dirinya.
Demonstrasi
buruh yang sering marak juga mengindikasikan bahwa eksekutif puncak perusahaan,
baik milik negara maupun swasta murni, juga tidak mendengarkan aspirasi para
buruh yang ketakutan karena merasa periuk nasi satu-satunya selalu terancam
hilang dalam hitungan detik. Sangat sulit mengusahakan adanya kesepahaman,
sekalipun ada begitu banyak forum "dialog" yang dibuat. Akar
masalahnya adalah karena masing-masing atau salah satu pihak tidak pernah
sungguhsungguh mendengarkan secara empatik. Para pejabat dan eksekutif
perusahaan cenderung merasa paling benar, sudah tahu, sudah mengerti dan tidak
mau mendengarkan. Pada sisi lain, rakyat banyak dan kaum buruh merasa tetap
tidak dimengerti, tidak dipahami, tidak didengarkan sungguh-sungguh. Akibatnya
buntu, mandeg, not going anywhere. Kebuntuan ini memicu berbagai bentuk tindak
kekerasan sebagai cara menyatakan dan memaksakan kehendak. Mungkin baik jika
setiap pemangku jabatan kepemimpinan di berbagai organisasi politik maupun
ekonomi/bisnis, belajar kembali (re-learn) ilmu psikologi komunikasi. Kita
perlu mengingatkan para pejabat itu bahwa perasaan "didengarkan"
ibarat oksigen bagi jiwa. Pihak-pihak yang merasa tidak didengarkan berada
dalam posisi sesak nafas, kekurangan oksigen. Jiwanya meronta-ronta. Ekspresi
dari jiwa yang dying (sekarat) ini bisa macam-macam. Mulai dari diam, apatis,
sampai demonstratif atau bahkan beringas tak karuan. Yang dibutuhkan mungkin
bukan sekadar alternatif solusi yang rasional, tetapi perasaan
"didengarkan" secara empatik, dimengerti, dipahami apa adanya.
Apabila
rakyat banyak atau kaum buruh merasa bahwa para pemimpin formal itu
sungguh-sungguh mendengarkan jeritan hatinya, maka solusi alternatif yang
rasional tentu banyak gunanya. Namun tidak sebaliknya. Banyaknya solusi yang
rasional tidak dengan sendirinya membuat rakyat dan buruh pabrik merasa
didengarkan. Jadi, dengarkanlah lebih dulu, berusahalah mengerti lebih dalam,
bukalah pikiran, rendahkanlah hati untuk menerima kemungkinan bahwa anda keliru
mempersepsi persoalan.
Sejauh
yang saya pahami, di dunia ini tidak ada hal yang lebih mengerikan daripada
pemimpin yang merasa dirinya paling benar, paling tahu/pintar, paling mengerti
dan karenanya tidak bersedia berubah sama sekali. Sebab bila pemimpin merasa
dirinya serba super, maka ia telah kehilangan kemanusiawiannya dan tak lagi
mampu mendengarkan dengan pikiran hatinya (mind-heart). Sekali lagi,
mendengarkan sebagai salah satu atribut penting kepemimpinan, adalah seni dalam
mengelola perubahan. Dan mengelola perubahan di tengah paradok globalisasi
versus otonomi daerah, pertama-tama dan terutama memang merupakan tanggung
jawab para pemimpin. Pemimpinlah yang harus mengambil inisiatif untuk lebih
banyak mendengarkan, dalam arti membuka pikiran dan menyediakan hati untuk
mengubah salah persepsi yang mungkin dimilikinya. Pemimpinlah yang pertama-tama
harus mentransformasikan dirinya untuk menjadi lebih manusiawi. Dengan cara itu
ia dapat benar-benar memimpin proses transformasi masyarakat dan organisasi
dimana ia dipercaya untuk kurun waktu tertentu.
Sumber: Telinga Pemimpin oleh
Andrias Harefa.
by: @babehmar
by: @babehmar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar