Sekolah: Ladang Subur Anti Kekerasan?
Sekolah ternyata bukan ruang steril
kekerasan. Tepatlah kiranya ungkapan itu untuk menggambarkan “tragedi” sekolah
JIS belakangan ini. Dikatakan “tragedi”, sebab terjadi di sekolah, sebuah
komunitas yang selama ini mestinya menjadi tempat paling aman di mata orang
tua, masyarakat, terlebih bagi siswa itu sendiri.
Sekalipun demikian, tragedi JIS bisa
terjadi di sekolah manapun termasuk sekolah anak-anak kita. Apalagi berhadapan
dengan sekolah yang tertutup, kesempatan terjadinya perilaku kekerasan/
intimidatif semakin terbuka lebar. Ruang pergaulan yang terkesan bebas dan
komunikasi yang lepas acapkali mudah meminggirkan / menyembunyikan korban
kekerasan dengan stigma “culun”, “cemen”, “kenyi” atau “tipis.”
Kekerasan memang tidak selalu
identik dengan kekerasan seksual. Dalam prakteknya perilaku kekerasan di
sekolah melibatkan banyak aspek baik dari segi pelaku, bentuk, dan skala
kejadian.
Pelaku kekerasan
Istilah “orang dewasa” pelindung“
kiranya tidak senantiasa relevan. Banyak kesempatan justru menunjukkan perilaku
kekerasan dilakukan orang dewasa kepada anak-anak.
Di dalam keluarga hal itu bisa
dilakukan orang tua kepada anaknya sendiri atau kakak kepada adiknya. Praktek
kekerasan yang dialami seseorang acapkali menjadi benih subur seorang anak
memiliki jiwa penindas atau intimidatif terhadap orang di sekitarnya apabila
terbuka peluang untuk itu.
Di sekolah bentuknya bisa lebih
beragam mulai kekerasan yang dialami guru oleh atasan sampai guru senior kepada
guru baru (novice teacher). Motivasinya juga beragam entah atas nama
ketaatan, perkenalan komunitas, perploncoan, atau lemahnya control lembaga, dan
ketiadaan kultur yang jelas di sekolah tersebut. Guru-guru ini, karena
keterbatasan status dan pilihan terpaksa menikmati saja perilaku tidak adil
yang diterimanya.
Di kalangan siswa tindakan kekerasan
biasanya dialami dari guru/ karyawan terkait otoritas/ kewenangan yang
dimiliki, siswa “baru” oleh seniornya, atau siswa tertentu dijadikan korban
kekerasan karena keterbatasan yang dimilikinya (autis, cacat fisik, dianggap
asosial dsb). “Ledhekan” atau “cemoohan” biasanya justru menjadi guyonan yang
seolah menghibur banyak orang tanpa peduli betapa pilu rasa hati yang menjadi
korban.
Bentuk kekerasan
Bentuk perilaku kekerasan bisa
terjadi mulai yang samar sampai sifatnya fisik/ memberikan luka mendalam. Dalam
bukunya Bullied teacher bullied student, Parson, L (2005), menjelaskan
beberapa bentuk kekerasan yang sering dialam siswa di sekolah seperti:
Pertama, kekerasan verbal. Perilaku
ini dilakukan guru melalui penamaan atau stereotip tertentu kepada siswa yang
bernada seksis, rasis, kelemahan mental, atau pun homofobik. Misalnya ungkapan
menyebut siswa “bodoh”, “banci”, “china”, “lesbian”, “homo” dan sebagainya.
Sekalipun sifatnya verbal, namun ungkapan demikian bisa membekas secara mendalam
dalam diri siswa, dan tidak mustahil bisa memberikan pengalaman luka batin yang
akan dibawa siswa tersebut selama siswa pendidikannya.
Banyaknya pelecehan seksual secara
verbal dalam berbagai kesempatan lebih dikarenakan adanya penyalahgunaan
wewenang yang sangat dominan/ tidak terkontrol dari pelaku terhadap si korban
daripada persoalan persoalan seksualitas itu sendiri.
Kedua, kekerasan fisik. Perilaku ini
lebih mudah ditemukan bukti fisiknya dari para korban. Misalnya memukul,
menendang, meludah, menjambak, dan melempar. Ada perbedaan batasan manakah yang
sesungguhnya telah dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan mana yang bukan.
Namun demikian, pada prinsipnya sejauh perilaku itu di luar batas kewajaran
atau sudah dikategorikan “keras” maka tidak ada alasan untuk menolak hal itu
merupakan praktek konkrit dari kekerasan fisik.
Ketiga, kekerasan psikologis.
Kekerasan ini dilakukan misalnya dalam bentuk teriakan, berbicara secara kasar,
menggertak, melempar atau menyobek pekerjaan siswa, mengacam siswa dengan
hukuman, vonis nilai ulangan, mengacuhkan, tidak peduli, atau melecehkan
pendapat/ pertanyaan siswa.
Bentuk kekerasan psikologis semacam
ini memiliki efek yang tidak kurang negatinya dibandingkan dua kekerasan di
atas. Sikap kecewa, rasa frustasi dan bersalah, serta luka batin pada diri
korban acapkali juga sukar dikendalikan. Banyak orang tua akhirnya harus
melibatkan pihak profesional/ psikiater untuk membantu para siswa ini dalam
proses pemulihan dirinya.
Dan keempat, kekerasan atas nama
profesionalisme. Bentuk-bentuk kekerasan ini ditunjukkan guru melalui penilaian
hasil pekerjaan siswa yang tidak adil, penerapan disiplin yang tidak relevan
dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, menghambat siswa untuk mendapat hak
pengajaran yang sama, memanipulasi data siswa demi keuntungan diri, melakukan
intimidasi terhadap orang tua karena hambatan bahasa/ social ekonomi sehingga
orang tua tidak bisa menyampaikan masalahnya kepada pihak sekolah, dan
sebagainya.
Skala kekerasan
Skala kekerasan terkait sejauhmana
pihak-pihak terlibat dalam perilaku kekerasan yang dimaksud. Bentuk yang paling
sederhana tatkala kekerasan itu hanya melibatkan satu atau dua siswa secara
terbatas dengan efek masalah yang juga tidak mengawatirkan pihak korban.
Di samping bentuk individual, efek
kekerasan juga bisa memengaruhi kelompok tertentu secara lebih luas. Di samping
skala yang lebih luas korban kekerasan mulai menunjukkan keberanian secara
kelompok untuk melawan. Namun demikian, persoalannya akan lebih “berat” tatkala
satu rombongan besar/ kelas/ angkatan kelas mengalami kekerasan yang sama.
Ketika reaksi ini mulai merata secara massif maka gerakan perlawanan para
korban kekerasan mulau muncul mengalahkan tekanan kekerasan yang ada.
Penutup
Dengan demikian kirannya sekondusif
apapun klaim kita semua atas kondisi dan situasi sekolah kita, kiranya kita
tetap perlu waspada terhadap persoalan ini. Misalnya dengan secara sadar
mendesain pendidikan anti kekerasan di sekolah terhadap siswa, khususnya
pendampingan yang lebih konkrit kepada para korban.
Secara sistematis, membuat
gerakan-gerakan yang lebih praktis dan bisa menjadi acuhan para siswa tentang
pentingnya gerakan anti kekerasan melalui cara-cara yang kreatif dan mendorong
keberanian para siswa untuk berani menjadi saksi atas perilaku kekerasan yang
pernah/ mungkin akan mereka alami pada masa mendatang.
Jika seluruh komunitas sekolah
peduli dan menjadikan gerakan anti kekerasan sebagai kebutuhan bersama maka apa
yang sering dirindukan para siswa/ alumni bahwa sekolah adalah the second
home mereka, menjadi lebih dekat dengan cita-cita daripada sekedar utopia
belaka.
Thomas Wibowo guru sma kolese
kanisius http://edukasi.kompasiana.com
27 April 2014 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar