Lebih
mudah bagi guru jika semua siswa duduk manis mengikuti kegiatan belajar
mengajar di kelas. Namun hal itu tidak bisa selalu diharapkan terjadi.
Sebaliknya seringkali guru merasa jengkel atas perilaku siswa sehingga
mendorongnya untuk melakukan praktik kekerasan dalam mengelola perilaku siswa
di dalam kelas. Kejadian yang umum, bisa mulai dari sekedar memarahi, mencaci
maki, menjewer telinga, mencubit, memukul dengan tangan atau alat, ataupun
memberikan bentuk hukuman lainnya seperti berdiri dengan satu kaki,
membersihkan WC sekolah, dsb. Persoalannya, apakah memang pengelolaan kelas
harus bertumpu pada hukuman semacam itu agar siswa dapat belajar dan berkembang
dengan optimal ?
Materi
ini akan mengajak para guru untuk berefleksi dan coba memperbaiki cara
pengelolaan kelas atau mendisiplinkan siswa tanpa kekerasan.
A. Anak dan perilaku “salah”
Menyikapi
perilaku anak yang nakal/salah atau tak disukai guru, pertama-tama kita harus
bertanya, “SALAH” menurut siapa dengan standar/definisi apa ? Seringkali guru
atau orang dewasa menggunakan standar orang dewasa yang terlalu tinggi untuk
diterapkan pada prilaku anak. Menulis dengan tangan adalah perkara sepele bagi kita. Tapi ingat kembali ketika kita umur 5 tahun.
Menulis adalah tugas maha berat di mana untuk menyelesaikan 1 baris tulisan kita
bisa menghabiskan 5 menit bahkan lebih!
Jadi sebelum kita
menyimpulkan anak ini nakal atau bodoh atau malas, selalu ingat perkembangan
anak. Dalam perkembangannya, anak menjalani proses belajar yang luar biasa. Dan
penelitian membuktikan bahwa anak belajar antara lain melalui “kesalahan” yang
diperbuatnya, misalnya:
§ melalui cara coba-ralat
§ dengan
menguji batasan-batasan yang ia temukan di lingkungan
§ melalui
proses yang oleh orang dewasa sering dianggap bentuk “perilaku salah” seperti
berselisih dengan teman.
Padahal itu
semua merupakan proses belajar yang normal dan dibutuhkan anak untuk
perkembangan yang optimal. Pikirkan bahwa dengan berselisih, anak belajar
mengenal dirinya dan sudut pandang orang lain, belajar melatih pemecahan
masalah, dsb. Anak juga belum berada pada situasi orang dewasa di mana anak
mungkin belum pandai memahami sudut pandang orang lain – hal ini membutuhkan
kemampuan kognitif/mental yang lebih tinggi. Anak juga belum memiliki prioritas
dalam tujuan hidupnya sehingga terarah sebagaimana layaknya orang dewasa.
Akhirnya, anak juga masih mengembangkan konsep diri dan harga dirinya yang
positif (lihat pula bacaan di bagian perkembangan anak/ Pedoman Pelatihan untuk
Guru tentang Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah, 2006).
Kesimpulan :
Dalam bekerja/mengajar seseorang mungkin kelebihan beban, lelah, frustrasi,
stres; semua ini adalah sesuatu yang wajar dialami oleh setiap orang misalnya
guru. Guru mungkin pula berpandangan bahwa cara paling efektif mendidik anak
adalah dengan cara disiplin yang keras, karena masih ada keyakinan atau
persepsi bahwa kekerasan diperlukan untuk mendorong kedisiplinan dan pendidikan
yang efektif. Guru perlu meningkatkan efektifitas pribadinya, belajar
alternatif mendisiplinkan anak secara positif serta saling mendukung dengan
seluruh unsur pelaku pendidikan dalam konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
B.
Pengertian
Kekerasan Terhadap Anak
Menurut
Konvensi Hak Anak yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia melalui
Keppres 36/1990, salah satu hak anak adalah perlindungan dari perlakukan salah,
eksploitasi, penelantaran, kekerasan (Ps. 19). Sementara dalam UU Perlindungan
Anak, Ps. 13 merupakan pasal yang paling khusus membahas perlindungan anak
terhadap penelantaran, perlakuan kejam termasuk kekerasan dan penganiayaan secara
fisik/ mental/sosial, serta perlakuan salah lainnya seperti pelecehan dan
perbuatan tidak senonoh.
Tampak dari
informasi di atas bahwa ada sejumlah istilah yang berdekatan pengertiannya.
Walaupun tampaknya seperti telah jelas dipisahkan, namun ada baiknya kita
tinjau kajian yang lebih teoritis mengenai persoalan kekerasan (violence)
dan perlakuan salah (abuse) terhadap anak. Dalam situs resminya WHO (World
Health Organization) menjelaskan apa yang tertuang dalam KHA mengenai child
abuse and neglect yang dalam bahasa Inggris disetarakan dengan child
maltreatment, (Ind: Perlakuan salah) dan didefinisikan sebagai “All
forms of physical and/or emotional ill-treatment, sexual abuse, neglect or
negligent treatment or commercial or other exploitation resulting in actual or
potential harm to the child’s health, survival, development or dignity in the
context of a relationship of responsibility, trust, or power” (WHO, 1999;
forthcoming [2002]). (Terjemahan bebas Bahasa Indonesia: Semua bentuk perlakuan
salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran atau
eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata
ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan dan lengsungan hidup anak
ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggungjawab,
kepercayaan atau kekuasaan).
Pengertian lain perlakuan
salah (child abuse) pada anak adalah : “Perilaku orangtua/wali,
pengasuh, guru, orang dewasa lainnya yang salah sehingga mengakibatkan luka
atau bahaya/resiko fisik atau psikis/batin pada si anak” (terjemahan bebas dari
Hay, 1997; Bautista dkk, 2001). Karena sifatnya yang bisa “melukai” anak, maka
perlakuan salah juga kerap disebut sebagai kekerasan pada anak. Dalam proses
pelatihan (selain dalam pokok bahasan dan bacaan bagian ini), modul ini secara
singkat dan konsisten menggunakan istilah kekerasan saja.
Dalam perlakuan salah
pada anak terkait pengkhianatan si pelaku terhadap kepercayaan anak kepada
pelaku dan penyalahgunaan kewenangan orang tsb terhadap si anak, jenisnya
bermacam-macam :
1. Kekerasan secara fisik (physical
abuse)
Secara
sengaja dan paksa dilakukan terhadap bagian tubuh anak yang bisa menghasilkan
ataupun tidak menghasilkan luka fisik pada anak. Contohnya memukul,
mengguncang-guncang anak dengan keras, mencekik, menggigit, menendang,
meracuni, menyundut anak dengan rokok, dsb. Jenis ini seringkali terjadi atas
nama disiplin yang dilakukan dengan cara hukuman fisik dan menjadi salah satu
fokus dalam modul ini karena seringnya dilakukan dalam konteks sekolah (corporal
punishment).
2. Kekerasan
secara seksual (sexual abuse)
Terjadi jika anak digunakan untuk tujuan seksual bagi orang yang lebih tua
usianya. Misalnya memaparkan anak pada kegiatan/perilaku seksual, atau
memegang/meraba anak atau mengundang anak untuk melakukannya. Termasuk di sini
adalah penyalahgunaan anak untuk pornografi (penggunaan anak dalam
gambar/tulisan/film porno untuk tujuan membangkitkan nafsu seks), pelacuran,
atau bentuk eksploitasi seksual lainnya.
3. Kekerasan
secara emosional (emotional abuse)
Meliputi serangan terhadap perasaan dan harga diri anak. Perlakuan salah
ini juga sering luput dari perhatian, padahal kejadiannya sangat sering karena
biasanya terkait pada ketidakmampuan dan atau kurang efektifnya
orangtua/guru/orang dewasa dalam menghadapi anak. Bentuknya bisa mempermalukan
anak, penghinaan, penolakan, mengatakan anak “bodoh, “malas”, “nakal”,
menghardik, menyumpahi anak dan masih banyak sekali contoh lain.
4. Penelantaran
anak (neglect)
Terjadi jika orangtua/wali/pengasuh/orang dewasa tidak menyediakan
kebutuhan mendasar bagi anak untuk dapat berkembang normal secara emosional,
psikologis dan fisik. Misalnya jika anak tidak diberi makan, pakaian, tempat
berteduh, pengobatan, perlindungan standar yang dibutuhkan anak. Bentuk ini
seringkali luput dari perhatian walaupun dampaknya juga bisa sama seriusnya
dengan bentuk perlakuan salah lainnya.
Beberapa
literatur dan WHO juga memasukkan semua bentuk eksploitasi seperti pekerja anak
dan anak jalanan sebagai salah satu bentuk perlakuan salah terhadap anak. Tanpa
maksud membatasi pembahasan, manual ini hanya berfokus pada hal-hal yang lebih
relevan untuk konteks sekolah.
Sudah
disinggung di atas siapa saja yang dapat melakukan perlakuan salah kepada anak.
Walaupun kebanyakan pelaku adalah orang yang dekat dengan anak dan berusia
lebih tua daripada anak – karena mereka
umumnya punya posisi “lebih” daripada anak, namun jangan lupa bahwa perlakuan
salah juga bisa dilakukan oleh anak terhadap teman sebayanya. Umumnya hal ini
bersifat emosional dan fisik, dan yang dianggap cukup serius untuk dicermati
adalah bentuk kekerasan fisik oleh teman sebaya di lingkungan sekolah/tetangga
yang disebut dengan “bullying”. Tak ada istilah Indonesia yang tepat
untuk menggantikan “bullying”, namun secara sederhana dapat disejajarkan
dengan pemerasan/pemeloncoan/premanisme/ pemalakan/eksploitasi oleh sesama
teman. Contohnya ketika seorang anak dipaksa untuk memberikan uang kepada
temannya, atau ia dipaksa mengerjakan PR temannya; biasanya disertai dengan
ancaman seperti dikucilkan atau bahkan ancaman fisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar