A.
Pendahuluan
Istilah “Gender Mainstreaming” sebenarnya sudah
muncul pada saat diskusi-diskusi dalam Konferensi Dunia di Nairobi tahun 1985,
tetapi penggunaaannya belum meluas. Sepuluh tahun kemudian, wacana “Gender Mainstreaming” muncul kembali
pada rencana aksi Jakarta untuk Kemajuan Perempuan, yang kemudian diadopsi oleh
Konferensi Tingkat Menteri Asia Pasifik kedua mengenai Perempuan dalam
Pembangunan dan Program Aksi. Sejak saat itu, istilah Gender Mainstreaming mulai digunakan oleh beberapa lembaga dan
Negara donor.
Perjuangan
untuk memasukkan konsep Pengarusutamaan Gender mencapai puncak pada saat
Konfereni Dunia tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Dalam forum tersebut,
semua Negara peserta (termasuk
Indonesia) menerima mandat untuk menerapkan Pengarusutamaan Gender
dinegara masing-masing. Meskipun “Beijing
Platform Action” sudah ditandatangani
sejak tahun 1995, kenyataan
menunjukkan bahwa ”Pengarusutamaan Gender” baru sekedar wacana dan retorika
belaka, bahkan belum semua pengelola pembangunan memahami “Apa dan bagaimana
Pengarusutamaan Gender”.
Indonesia
sendiri, sebagai salah satu penandatanganan kesepakatan tersebut baru mencoba
menerapkannya ditingkat pusat, yaitu tahun 2000 dengan terbitnya Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasioal (PROPENAS) tahun
2000-2004, yang bertujuan untuk mengembangkan kebijakan yang responsif gender
sehingga kesetaraan dan keadilan cepat terwujud. Upaya ini lebih dipertegas lagi
dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden RI Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa seluruh Departemen
maupun Lembaga non Departemen di pemerintah propinsi maupun Kabupaten/Kota
harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi pada kebijakan dan program pembangunan.
B.
Apa itu Gender Mainstreaming?
Terdapat
beberapa pengertian tentang Gender Mainstreaming yang digunakan oleh banyak
lembaga.
DEFINISI GENDER MAINSTREAMING MENURUT PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
ADALAH:
· PROSES
MENELAAH IMPLIKASI TERHADAP PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DARI SETIAP RENCANA AKSI
YANG TELAH DIRENCANAKAN TERMASUK UNDANG-UNDANG, KEBIJAKAN DAN PROGRAM DAN
SETIAP BIDANG DAN TINGKAT APAPUN
· SEBUAH
STRATEGI UNTUK MEMASUKKAN ISU, PENGALAMAN DAN KEBUTUHAN PERMPUAN DAN LAKI-LAKI
KE DALAM SUATU DIMENSI YANG INTEGRAL DI DALAM RANCANGAN, PELAKSANAAN,
MONITORING DAN EVALUASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM DALAM SETIAP BIDANG SUPAYA
PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI MENDAPAT MANFAAT YANG SAMA. SASARAN AKHIRNYA ADALAH
KESETARAAN GENDER.
Tidak hanya PBB, Lembaga-lembaga dibawah naungan PBB dan Lembaga Donor
juga mencoba mendefinisikan konsep “Gender
Mainstraming” seperti ILO misalnya mendefinisikannya sebagai;
Sebuah
proses memasukkan isu kesetaraan ke dalam setiap sasaran dan aktifitas program
ILO untuk mempromosikan kesetaraan bagi perempuan dilapangan kerja. Strategi pengarusutamaan
membangkitkan pemasukan perencanaan dan analisa gender dalam semua aktifitas ILO.
Strategi pengarusutamaan juga bermaksud
pengidentifikasian kemungkinan dampak yang berbeda dari program dan proyek pada
laki-laki dan perempuan serta pirantinya yang dibutuhkan untuk memasukkan bahwa
aktifitas ILO mempunyai dampak yang positif pada kesetaraan gender.
Sedangkan
United Nation Development and Population
(UNDP) menekankan bahwa yang dimaksud dengan “Gender Mainstreaming” adalah memperhitungkan perspektif gender ke
dalam semua akstifitas dan semua prosedur organisasi. Dalam bahasa Indonesia, “Gender Mainstreaming” diartikan sebagai “Pengarusutamaan
Gender” dan definisinya lebih mengadopsi definisi yang dirumuskan oleh PBB,
yaitu “Suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui
kebijakan dan program yang memperhitungkan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan
permasalahan perempuan dan lakil-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang
kehidupan dan pembangunan”
Dari
beberapa definisi dan pengertian tentang “Gender
Mainstreaming” tersebut dapat diambil beberapa point penting yaitu:
·
Pengarusutamaan
Gender untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender
· Mengintegrasikan
perspektif gender ke dalam kebijakan,
program, proyek dan kegiatan pembangunan lintas sektoral dan di semua tingkatan
baik nasional maupun daerah
·
Mengadopsi
perspektif gender ke dalam setiap tahapan siklus perencanaan
·
Mentransformasikan keseluruhan proses dan kerangka perencanaan
pembangunan menjadi sensitif gender
·
Selalu
memperhitungkan dampak dari peran gender dan hubungan gender terhadap
ketidaksetaraan dalam memeperoleh akses dan manfaat pembangunan, khususnya
dampak yang negative terhadap perempuan
·
Menciptakan
suasana kondusif agar gender
mainstreaming lebih mudah diterima
Selain
itu, Pengarusutamaan Gender mempunyai tugas untuk mempengaruhi cara pandang
pengambil keputusan, perencana dan pelaksana pembangunan (nasional, daerah dan
international) untuk mendukung dan menjalankan kesetaraan gender. Tugas lainnya
adalah memperkuat legitimasi dan dan kesetaraan gender sebagai suatu nilai dasar
yang harus tercermin dalam tata kerja kelembagaan dan terungkap dalam proses
dan pilihan pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar