Dorothy Law Nolte
mengungkapkan beberapa kenyataan tentang anak dalam puisi berikut:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar
berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah
diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar
menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan
diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya
diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan yang baik, ia
belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh
kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar
menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan
persahabatan, ia belajar menemukan cinta dan kehidupan
Dari pemikiran dan
gambaran-gambaran tersebut maka semestinya muncul tanda tanya pada kita:
sudahkah kita memahami ataupun membayangkan akibat dari suatu perlakuan
kekerasan baik fisik maupun non-fisik terhadap anak-anak kita? Apalagi kita
telah belajar bahwa untuk dapat berkembang optimal anak membutuhkan lingkungan
yang kondusif, dan jelas kekerasan sama sekali bukan merupakan bagian dari
kebutuhan anak.
Dari teori yang
dikemukakan Erik Erikson tentang perkembangan psikososial anak, kita belajar
bahwa hingga usia SD anak seyogyanya sudah mengembangkan rasa percaya (trust)
kepada lingkungan, berkembang kemandirian (autonomy) dan inisiatifnya
serta sudah mulai menunjukkan kompetensinya melalui kegiatan yang produktif.
Karena sebagian besar waktu anak dijalani di lingkungan sekolah, maka peran
sekolah dan guru sangat penting dalam menunjang perkembangan psikososial anak
ini.
A. Hukuman dengan kekerasan di sekolah ditinjau dari perkembangan psikososial anak
Guru
yang gemar menghukum siswa menggerogoti perkembangan psikososial anak. Anak
menjadi tidak percaya pada lingkungan dan orang lain, padahal rasa saling
percaya antar sesama dan adanya rasa aman merupakan lingkungan yang kondusif
bagi anak untuk belajar. Dengan cara hukuman guru juga tidak mengajarkan anak
untuk melatih kemampuan mengontrol dirinya sendiri. Sebaliknya guru bertindak
sebagai “polisi” yang akan mengawasi perilaku anak dan menghukum tingkah laku yang
tak sesuai dengan kehendak guru. Perkembangan anak menjadi insan yang penuh
inisiatif juga relatif terganggu karena salah satu latihan berinisiatif adalah
dengan mencoba dan berani mengekspresikan diri, yang justru seringkali
diinterpretasikan oleh guru sebagai perilaku mengganggu atau bahkan “nakal”,
“bandel”, “berani menantang” dsb. Guru seyogyanya memberi ruang yang cukup bagi
anak untuk berinisiatif dan mengekspresikan dirinya , namun akan lebih baik
jika guru juga bisa menjadi menjadi model perilaku yang sehat. Hukuman dengan
kekerasan mengecilkan anak, menghambat inisiatif, mendorong munculnya rasa
malu, rasa bersalah, tak berdaya, rendah diri, kemarahan dan dorongan untuk
memberontak dan mendendam. Dalam suasana psikologis seperti ini jelas sulit diharapkan
anak-anak menumbuhkan kompetensinya dan belajar menjadi insan yang produktif
sebagaimana yang seyogyanya dikembangkan pada usia SD.
B. Siklus pembentukan perilaku dan dampak kekerasan bagi anak
Tampaknya memang cara mendisiplinkan dengan kekerasan akan lebih memberikan
hasil langsung, seperti anak berkelahi dengan temannya, lalu kita hukum dengan
pukulan rotan di punggung, maka mereka kemudian tidak berkelahi lagi karena
takut dihukum. Tapi hasil ini umumnya hanya bersifat sesaat karena faktor penyebab
dasar (akar masalah) perilaku anak sendiri tidak terselesaikan melalui cara
tsb. Dengan cara hukuman semacam itu, anak juga kurang dirangsang untuk belajar
menjadi individu yang lebih baik dan bermartabat.
Misalnya seorang anak sering ribut di kelas dan guru memberikan label si
tukang ribut kepada anak. Umpan balik negatif ini akan diterima anak sebagai
konsep dirinya sehingga ia justru cenderung melakukan keributan di kelas karena
hal itulah yang sesuai dengan dirinya.
Sebaliknya jika kita melihat satu hal positif yang dilakukan anak, misalnya
datang tidak terlambat dan kita mengatakan padanya “wah, ibu senang kamu hari
ini datang tepat waktu!”, maka konsep diri bahwa ia anak yang rajin datang ke
sekolah yang tertanam dan cenderung dipertahankan oleh anak.
Perilaku negatif yang mungkin muncul dalam konteks proses belajar normal
bagi anak adalah suatu situasi/gejala jangka pendek. Jika kita merespon secara
negatif, apalagi secara berlebihan, tidak tepat dan tidak proporsional terhadap
“kesalahan” anak, maka muncullah siklus pembentukan perilaku negatif
sebagaimana digambarkan di atas. Dengan kata lain, jika kita mendisiplin dengan
cara kekerasan, kita justru mendorong munculnya perilaku negatif.
C.
Dampak
Jangka Pendek dan jangka Panjang
Dalam jangka pendek dan/atau terjadi segera, kekerasan pada anak dapat
mengakibatkan :
1.
Pada kejadian ekstrim, anak bisa meninggal. Kasus Ari
Hanggara di Jakarta pada tahun 1980an tentu masih tersimpan di benak sebagian
orang Indonesia.
2.
Masalah fisik sesaat : misalnya karena dihukum berlari
mengelilingi lapangan pada siang hari, anak bisa pingsan.
3. Luka fisik yang tak nyata (luka dalam) : misalnya anak
kecil/bayi yang diguncang-guncang terlalu keras dapat mengalami luka organ
dalam yang tidak tampak mata (lihat gambar pajangan)
4. Luka fisik nyata (kasat mata) : luka bekas sundutan
rokok, cubitan di kulit yang membiru, dsb (lihat gambar pajangan)
5. Perasaan dan/atau pikiran negatif pada anak : tidak ada
orang yang senang dihukum. Dalam jangka pendek, reaksi langsung seorang anak
yang dihukum/diperlakukan salah/dikerasi minimum adalah munculnya rasa tak suka
atau perasaan bahwa dirinya bersalah/tak berharga. Dengan kata lain ini adalah
luka batin si anak (bacalah buku Sheila karya Torey Hayden).
6. Kemungkinan penguatan perilaku negatif : seperti
dijelaskan dalam siklus pembentukan perilaku di atas, dengan hukuman/umpan
balik negatif kita seringkali justru memperkuat munculnya perilaku negatif,
apalagi jika anak melakukan perilaku negatif untuk mendapat perhatian
guru/orangtua.
Selain dampak jangka pendek seperti contoh-contoh di atas, kekerasan juga
terbukti memiliki dampak jangka panjang karena cenderung tersimpan dalam
ingatan dan ditekan dalam dunia bawah sadar, namun mewarnai kehidupan anak
seterusnya. Beberapa contoh dampak :
1.
Harga diri negatif dan anak akan tumbuh menjadi pribadi
yang tidak percaya diri
2. Prestasi cenderung tidak
tinggi
3. Gangguan perilaku : ada
yang externalizing (agresif, pemarah,
berontak, dsb) namun tak kurang pula yang internalizing
(depresi, pendiam, menutup diri, dsb)
4. Gangguan penyesuaian diri
dan umumnya kurang mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan pihak otoritas
5. Bersikap positif terhadap
kekerasan dan menganggap kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah yang baik
untuk dilakukan
6.
Cenderung menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari
7. Khusus untuk kekerasan seksual : selain beberapa dampak
di atas, kemungkinan juga terjadi gangguan hubungan lawan jenis dan lebih
cenderung mengalami gangguan perilaku internalizing.
***disarikan dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar