“Dulu saya hanya tahu kalau punya anak, saya hanya perlu
beri makan, pakaian, dan sekolahkan. Tapi, sekarang saya paham kalau anak juga
harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.”
Haminah sampai pada kesimpulan itu
setelah sembilan tahun berproses bersama Plan. Ia menyadari, anak-anak punya
pikiran dan dunianya sendiri. Mereka juga punya cara khas untuk mengutarakan
pendapat. Pemahaman itulah yang coba ia suntikkan pada warga di sekitarnya.
Haminah mengawali kiprahnya sebagai relawan
desa sejak 2004 ketika Plan masuk di Desa Penimbun, Kecamatan Karanggayam. Saat
itu, ada kegiatan dari Plan yang melibatkan anak-anak. Ketentuannya, anak-anak
tersebut harus ada pendamping laki-laki dan perempuan. Secara tiba-tiba, ia
ditunjuk Kades Penimbun untuk mendampingi anak-anak berproses.
“Saya tidak tahu kalau itu namanya
pendamping anak. Sejak itu, tiap kali ada kegiatan Plan, saya dilibatkan.
Lama-kelamaan saya ditetapkan jadi pendamping anak karena saya yang sering
berproses dengan mereka. Tidak ada acara pengangkatan secara formal,” tuturnya.
Anak-anak berproses, menurut
Haminah, adalah mereka yang melakukan kegiatan, seperti mengadakan pertemuan
atau membuat sesuatu, baik itu karya fisik maupun bukan. Misalnya, ketika ada
perencanaan desa dan anak-anak dilibatkan, Haminah-lah yang mendampingi dan
memfasilitasi mereka.
“Kalau pembangunan di desa,
perencanaannya berbeda. Jika harus menggali informasi dari orang dewasa, ya
sumbernya orang dewasa. Sumber informasi dari anak-anak juga ada. Saya yang
mengadvokasi pemerintah desa agar melibatkan anak-anak,” ujar perempuan
kelahiran 5 Mei 1977 ini.
Lingkungan keluarga yang kurang
paham tentang pendidikan, membuatnya putus sekolah saat kelas 2 SMP lalu
menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. Latar belakang itulah
yang memotivasinya untuk menyelami dunia anak-anak.
“Saya ingin mendapatkan ilmu dan
menerapkannya setidaknya untuk anak-anak saya sendiri,” kata ibu dua anak ini.
Ia gencar menyampaikan agar
anak-anak tidak sampai putus sekolah lantas bekerja. Karena ia sudah merasakan
pahit getirnya. Kendati demikian, ia tidak pernah menyesali salah satu fase
dalam perjalanan hidupnya itu. Tekadnya cuma satu, jangan sampai anaknya
bernasib sama sepertinya.
Didorong oleh Plan, ia pun
menyambung rantai pendidikannya dengan mengambil Kejar Paket B pada 2011 yang
dilanjutkan dengan Kejar Paket C. Ini salah satu caranya pula untuk memacu
anak-anaknya agar tetap semangat sekolah.
Selain sebagai pendamping anak dan
ibu rumah tangga, Haminah juga aktif di berbagai forum dan organisasi. Ia
menjadi sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Ia ditugasi sebagai
pemberdaya masyarakat desa dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Ia juga tergabung sebagai Tim Komite Sekolah di SDN Penimbun.
“Saya malah tidak masuk PKK. Biar
saya tidak ada di mana-mana. Biar ibu-ibu yang lain juga bisa berperan secara
merata,” ucapnya sembari tersenyum.
Dinilai vokal dalam menyampaikan aspirasi
anak-anak, ia pun dimasukkan ke bidang advokasi dalam Kelompok Perlindungan
Anak Desa (KPAD) Penimbun. Dan pada tanggal 25 Februari 2013 ia mendapat amanat
menjadi Sekretaris Umum Forum KPAD Kabupaten Kebumen. Keterlibatannya di KPAD
membuatnya merasa lebih paham dan fokus pada upaya perlindungan hak anak. Salah
satunya adalah hak untuk memberikan pendapat.
“Kini, kalau mau melakukan apa-apa,
saya harus diskusi dengan anak-anak. Apalagi suami saya tidak di rumah, mencari
nafkah di Jakarta. Jadi, segala keputusan harus dipertimbangkan dengan
anak-anak,” jelasnya.
Ia juga mengaku kalau pelan-pelan di
dalam dirinya terjadi perubahan cara pandang terhadap hak anak.
“Sebelum 2004, saya bergaul dengan
orang-orang kota. Saya berpikir bahwa untuk mengasuh anak harus punya banyak
duit. Untuk menyekolahkan anak, misalnya. Dari dulu saya berpikir sekolah itu
penting. Kalau punya anak, jangan sampai tidak sekolah.”
Haminah sebenarnya menyesal bukan
belakangan ini. Kala memutuskan keluar dari kelas 2 SMP dan bekerja, ia sudah
menyesal. Oleh karena itulah, saat kerja di Jakarta, ia pun gigih membiayai
sekolah adiknya sampai lulus SMK.
“Pandangan saya bahwa untuk
menyekolahkan anak harus punya duit banyak, sedikit demi sedikit terkikis.
Kalau kita tidak punya uang banyak, sementara niat kita kuat, Insya Allah ada
jalan. Saya yakin kalau kita berusaha jadi orang bermanfaat buat orang lain,
pasti ada yang membalas,” pungkasnya mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar