“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak” (Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002).
Apa yang termaktub dalam UUPA di
atas, direspon positif oleh Plan. Sebagai organisasi non-pemerintah yang fokus
pada pemberdayaan masyarakat, khususnya anak-anak, perhatian itu diwujudkan dalam
aksi nyata dengan membentuk Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD).
Kelompok ini dibentuk secara
partisipatif dengan melibatkan semua unsur yang berkepentingan dengan
perlindungan anak, antara lain: pemerintah desa, lembaga-lembaga desa, tokoh
agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, Karang Taruna, bidan, guru, PKK, komite
sekolah, organisasi-organisasi berbasis komunitas, serta tentu saja anak itu
sendiri. Tak lain tujuannya untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak dan
terlindunginya anak-anak dari segala bentuk perlakuan salah.
Pembentukan KPAD sendiri
dilatarbelakangi oleh kian meningkatnya pemahaman para relawan desa mengenai
hak-hak anak dan perlindungan anak. Satu yang vital adalah hak anak untuk
mempunyai akta kelahiran. Selain itu, kekerasan anak yang kerap terjadi di
lingkup keluarga atau masyarakat juga menimbulkan kegelisahan tersendiri.
Masalah-masalah itu acap kali tidak tertangani dengan baik. Masyarakat
kesulitan mengakses lembaga perlindungan anak yang ada di tingkat kabupaten.
Embrio lembaga perlindungan anak ini
sendiri muncul pada tahun 2007 – 2008. Diawali oleh kesepakatan para relawan di
lima desa di Kecamatan Karanggayam, yakni Desa Penimbun, Kajoran, Karangmaja,
Logandu, dan Kebakalan untuk membentuk kelembagaan desa yang menangani
perlindungan anak. Relawan desa pun mengkoordinasikan hal ini dengan pemerintah
desa. Inisiatif tersebut disambut baik oleh pemerintah desa dengan cara
mengundang perwakilan masyarakat untuk membentuk lembaga perlindungan anak di
tingkat desa. Masing-masing desa namanya berbeda. Misalnya, di Kajoran namanya
Komite Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A). Di Logandu bernama
Komunitas Pemerhati Anak Child Al Habib.
Namun, untuk lebih memudahkan
koordinasi dan pengingatan nama, pada 2010 lembaga desa itu pun diseragamkan
namanya menjadi Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD). Hingga kini, ada 15
KPAD yang telah terbentuk, antara lain di Desa Penimbun, Kajoran, Kebakalan,
Logandu, Kalirejo, Karangmojo, Selogiri, Wonotirto, dan Giritirto (Kecamatan
Karanggayam); Desa Pesuningan (Kecamatan Prembun); Desa Balingasal,
Pejengkolan, Sidototo, dan Padureso (Kecamatan Padureso); serta Desa
Karangsambung (Kecamatan Karangsambung).
Soal nama kelar, penataan kelembagaan
pun dimulai dengan turunnya izin resmi melalui Surat Keputusan Kepala Desa. Dokumen
kerja pun segera disusun.
Perjuangan masih panjang dan
melelahkan. Setelah sinyal baik ditunjukkan masing-masing desa, KPAD pun
menginisiasi adanya Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak. Melalui tim yang
terdiri dari berbagai unsur, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama,
lembaga-lembaga desa, serta pemerintah desa, dirumuskan draft rancangan Peraturan Desa Perlindungan Anak. Isu-isu anak yang
dominan muncul, seperti pernikahan usia anak, kekerasan pada anak, putus
sekolah, dan anak mengalami gizi buruk jadi pokok-pokok pikiran yang dituangkan
dalam Peraturan Desa.
Untuk mensosialisasikan hal ini, KPAD
berjejaring dengan beberapa LSM lokal, seperti Forum Masyarakat Sipil (FORMASI)
dan Bina Insani, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pakis. Tak luput bekerja
sama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bapermades) serta Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Kebumen. Jejaring
ini memang sengaja diperluas karena kompleksnya masalah anak.
Peraturan Desa kelar dirumuskan,
lantas dibahas, ditetapkan, dan disosialisasikan oleh Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Dari 15 KPAD yang sudah terbentuk di Kebumen, delapan desa yang
telah merancang Peraturan Desa tersebut. Regulasi ini mengikat kepala desa dan
masyarakat dalam upaya pencegahan kekerasan anak.
Langkah berikutnya yang ditempuh KPAD
adalah mendorong pihak kabupaten agar menggagas Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Anak. Pengurus KPAD bergabung untuk mendorong pemerintah kabupaten
agar segera membuat payung hukum tentang perlindungan anak. Saat tulisan ini
dibuat, Raperda PA sedang dibahas di tingkat Pansus.
Selain itu, mereka juga juga telah
berupaya membentuk Forum KPAD se-Kabupaten Kebumen yang telah dideklarasikan
pada 25 Februari 2013. Forum ini diharapkan bisa menjadi bagian kekuatan
masyarakat madani yang akan memberi dukungan bagi pemerintah daerah dalam
menyediakan layanan perlindungan anak. Adanya forum yang legal ini diharapkan
mampu mendorong terwujudnya nota kesepahaman dengan pihak kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan.
Adapun biaya operasional KPAD selama
ini memang berasal dari Plan. Namun, seiring dengan hendak keluarnya Plan dari
Kebumen, pelan-pelan KPAD dimandirikan. Caranya dengan dilembagakan di desa.
Sehingga, setelah resmi jadi bagian dari desa, masalah biaya bisa dialokasikan
dari Anggaran Dasar Desa. Selain itu juga dari pemerintah kabupaten.
Selama ini pengurus KPAD memang bekerja
secara sukarela tanpa digaji. Mereka menjalankan fungsinya atas kesadaran penuh
akan hak-hak dan tanggung jawab sebagai warga negara untuk mendukung
perlindungan anak di desa. Mereka berpegang teguh pada sikap sukarela, tabah,
dan siap berkorban. Prinsip mereka adalah “kepentingan terbaik untuk anak”.
Mereka juga bekerja secara transparan
dan akuntabel. Artinya, kinerja KPAD dalam rangka perlindungan anak terbuka
untuk dipahami, dinilai dan diberi masukan oleh pemerintah maupun masyarakat,
terutama anak-anak. Dalam hal ini, sumbangsih peran yang bisa diberikan
anak-anak bisa berupa: mendata rekan sebayanya yang belum punya akta kelahiran;
bersama orang dewasa melakukan pemetaan Analisis Situasi Hak Anak (ASHA);
melakukan konseling sebaya; serta berpartisipasi dalam penyusunan dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES).
Prinsip kerja lainnya yang dipegang
teguh oleh pengurus KPAD adalah kerja sama. Sebab, isu perlindungan anak adalah
isu pembangunan yang melibatkan segenap komponen masyarakat dan negara. Semua
komponen ini berkewajiban menurut fungsi masing-masing dalam mendukung tiap
bentuk kerja perlindungan anak. Perlindungan itu tentu didasarkan pada
nilai-nilai saling menghormati, menghargai, dan saling menguatkan.
Salah satu KPAD di Kebumen yang
dinilai berhasil dan acap kali jadi rujukan studi banding adalah KPAD Kajoran.
Suparlan, Ketua I yang juga sering jadi juru bicara KPAD Kajoran mengatakan, “Mungkin
KPAD Kajoran dianggap sudah banyak memiliki pengalaman dengan modal tekad yang
cukup nekat. Artinya, kami berbekal pendidikan yang sangat minim, tapi masih
peduli pada anak orang lain yang sedang bermasalah.”
Pria lulusan SMP ini menambahkan,
“Pada pertengahan 2010 kami pernah mendampingi kasus anak sampai persidangan.
Teman-teman menganggap itu berhasil. Padahal kami bermodal keberanian saja. Itu
pun atas dorongan teman-teman juga.”
Rasa salut juga terungkap dari Progam
Unit Manager Dompu, Hatta Usman, yang bersama kepala desa, jajaran pemerintah,
dan staf Plan melakukan studi banding ke KPAD Kajoran pada 7 Maret 2013. Ia
mengatakan, “Kalau melihat produk hukum yang dibuat oleh desa, lebih-lebih
mengenai perlindungan hak anak, itu bukanlah kerja yang setengah-setengah. Itu
menunjukkan betapa peduli mereka terhadap persoalan-persoalan anak. Apalagi
memerhatikan idealisme teman-teman KPAD.”
Laki-laki berdarah Makassar itu
bertutur, “Itu pula yang menyebabkan kami melakukan studi banding selama
seminggu agar mendapatkan informasi yang lebih. Dihadapkan pada situasi yang
lebih realistis dengan mempertemukan mereka (peserta studi banding, red) dengan
para pengurus KPAD yang berkecimpung langsung menangani perlindungan anak.”
Ibarat dua sisi mata uang, di balik
pencapaian KPAD juga ada tantangan yang dihadapi. Secara umum tantangan KPAD
berupa: biaya operasional KPAD yang belum dianggarkan oleh semua desa; adanya
beberapa personal di pemerintahan desa yang belum merespon baik keberadaan
KPAD; Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak yang belum dimiliki oleh semua
desa; Perda tentang Perlindungan Anak yang masih dalam proses pembahasan di
DPRD; anggapan masyarakat bahwa tiap tindakan yang melanggar hukum harus
diselesaikan melalui jalur hukum formal (peradilan); serta peran anak dalam KPAD
yang belum maksimal.
Tantangan-tantangan yang masih
bercokol di depan mata, sementara Plan hendak keluar dari Kebumen, membuat para
pengurus KPAD merasa belum siap. Menanggapi ini, Suparlan menyatakan,
“Sebenarnya, masih banyak hal yang kami butuhkan. Tapi, secara kinerja kami
Insya Allah bisa berjalan tanpa didampingi Plan lagi, dengan catatan bahwa
jaringan-jaringan kami sudah jelas, sudah ada nota kesepahaman dengan aparat
penegak hukum, ada paguyuban KPAD sekabupaten, juga Perda tentang Perlindungan
Anak telah disahkan.”
Meski Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Anak baru disahkan akhir bulan Mei 2013 kemarin, namun setidaknya
lewat Forum KPAD yang telah diresmikan, mereka telah mendorong pemerintah
Kabupaten Kebumen membentuk KPAD di 460 desa kelurahan di wilayah tersebut.
Dukungan itu disampaikan oleh Sekretaris Kabupaten Kebumen, Adi Pandoyo, pada
28 Februari 2013. “KPAD harus terbentuk di setiap kelurahan dan desa. Kami
berkomitmen mendukungnya, termasuk dari sisi anggaran,” terangnya.
Jika pemerintah, masyarakat dan
anak-anak terus dilibatkan dan bersinergi dalam upaya perlindungan anak
berbasis warga, suatu hal yang tidak mustail tindak kekerasan terhadap anak
bisa dikurangi. Apalagi melalui KPAD, warga diberi pelatihan tentang perlindungan
anak. Sensitivitas mereka dalam mendeteksi potensi kekerasan di lingkungannya
akan makin terasah.
Bersama
kita wujudkan perubahan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar