Peranserta masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok dalam upaya perlindungan anak sangat dibutuhkan, terlebih saat ini semakin maraknya issu kekerasan terhadap anak bermunculan baik di kota maupun di desa bahkan dipelosok pegunungan.
Hal itulah yang kemudian memunculkan sebuah ide/gagasan bagaimana agar anak-anak terlindungi dan terpenuhi hak-haknya.
Kembali pada pokok bahasan, KPAD Kebumen lahir berangkat dari kepedulian sosial, kepedulian terhadap nasib para generasi bangsa yang "terabaikan" hak-haknya.
Tulisan ini adalah proses perjalanan panjang dari sebuah gerakan sosial dalam mengubah paradigma masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan anak.
Sebagai awalan, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada:
1. Plan Indonesia atas segala support dan dukungannya selama proses awal lahirnya KPAD.
2. Pemerintah Kabupaten Kebumen yang telah mendukung dan akhirnya melahirkan payung hukum dengan lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak dan Peraturan Bupati Nomor 116 Tahun 2013 tentang Petunjuk Tekhnis Pelaksanaan Perda 3 tentang PPA.
3. Para senior kami khususnya Bung Odi Shalahudin, Mas Hari Pradana. Beliau berdualah yang mengumpulkan data dan dokumen sekaligus menulis sejarah lahirnya KPAD Kebumen. Sekaligus kami mohon ijinnya tulisannya kami muat dalam blog ini.
4. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah membantu kami sehingga sampai saat ini KPAD Kebumen tetap aksis mengemban amanat masyarakat untuk melakukan upaya-upaya perlindungan anak di Kebumen.
Pembaca yang budiman..
Berikut sejarah awal lahirnya KPAD Kebumen......
MASALAH ANAK-ANAK, MASALAH KITA
Tampaknya, tidak ada satu komunitaspun dapat mengklaim bahwa anak-anak di
komunitas mereka bebas dari ancaman masalah. Cobalah cermati kehidupan
anak-anak di lingkungan sekitar kita, catatlah situasi dan kondisinya secara
mendalam, benarkah anak-anak tidak terancam dengan berbagai masalah? Sebagian
besar bahkan dapat menemukan bahwa anak-anak telah terjerat dan menghadapi
berbagai masalah.
”Ketika ada orangtua melakukan, katakanlah mau mendisiplinkan anak dengan
membentak dan mengancam, ini kan
(biasanya) dianggap kasus kecil yang dikatakan sudah menjadi pola di
masyarakat. Di setiap desa banyak persoalan tentang anak, utamanya yang
(dianggap) kecil-kecil itu tadi. Sebagai contoh ketika anak berkelahi dengan
anak, kedua orangtua bercerai dan sudah punya anak atau ketika anak dipukul
oleh gurunya.” demikian dikatakan Suparlan
dari KPAD Kajoran.
Contoh kasus lain adalah putus sekolah atau tingkat pendidikan yang rendah, bagi sebagian masyarakat dapat dianggap bukan sebagai masalah. Demikian pula dengan keterlibatan anak-anak di dalam dunia kerja, yang tidak sebatas membantu orangtua, melainkan dipekerjakan di luar wilayah tempat tinggal mereka dan adanya pernikahan pada usia yang masih dalam batas umur anak.
Dulu kita hidup dalam
keluarga besar, semua kumpul dalam satu rumah, ada nenek sampai cucu, mantu,
semua kumpul. Kakek nenek
masih bisa mengasuh cucu, kadang-kadang cuma ikut mengawasi saja. Sekarang kan
sudah jarang, anak itu hanya milik ibu bapak mereka saja. Makanya kadang-kadang
ada orang tua yang bilang “anak anak ku
dhewek, arep tak gebuki yo urusanku.” Dulu tidak begitu. (Sanmohari, 73 tahun, Pak
Kaum Dusun Wanayasa, Karangmaja)
Bila pengertian masalah dipahami sebagai kesenjangan antara harapan dengan
kenyataan maka masalah yang diungkap tentunya merujuk pada pengalaman kehidupan
sehari-hari dengan berpijak pada pandangan atau nilai-nilai tertentu yang telah
tertanam. Di antaranya dipengaruhi oleh kebiasaan, nilai-nilai sosial-budaya,
adat-istiadat, dan pemahaman terhadap ajaran agama. Hal ini menyebabkan adanya
perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya di dalam
menempatkan masalah-masalah anak.
Dunia terus bergerak. Manusia selalu memimpikan dan berusaha mewujudkan
situasi yang dinilainya lebih baik. Pasca perang dunia pertama, seorang aktivis
perempuan, Eglantine Jebb, melihat bahwa korban peperangan sangat merugikan terutama bagi kehidupan
perempuan dan anak-anak. Ia merumuskan deklarasi hak-hak anak pada tahun 1923,
yang kemudian diadopsi oleh Liga Bangsa-bangsa pada tahun 1924. Perumusan
hak-hak anak terus berlangsung hingga pada tahun 1989, Majelis Umum PBB
mengesahkan Konvensi Hak Anak (KHA).
Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990. Artinya, Indonesia telah menyatakan persetujuan dan mengikatkan diri
untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam KHA.
KHA mengatur tentang hak-hak yang harus dijamin untuk dihargai, dilindungi,
dan dipenuhi. Sebagai bagian dari HAM, ketentuan KHA disebut pula sebagai
standar minimal yang berlaku universal. Artinya, hak-hak yang didapatkan anak,
setidak-tidaknya sesuai dengan ketentuan yang diatur, tidak boleh kurang, namun
suatu negara boleh memberlakukan standar yang lebih tinggi.
Indonesia juga telah mengesahkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UUPA), sebagai upaya untuk menindaklanjuti pelaksanaan KHA.
Ada berbagai instrumen internasional yang terkait dengan hak anak yang telah
diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, berbagai peraturan perundang-undanganterkait
hak anak juga telah banyak bermunculan. Hal ini merupakan perkembangan
menggembirakan bagi kehidupan anak-anak.
Ketika kita menggunakan KHA dan UUPA sebagai dasar utama yang didukung oleh
berbagai instrumen Hak Anak dan peraturan Perundang-undangan terkait, maka
kandungan yang terdapat dalam instrumen dan peraturan perundangan itulah yang
menjadi acuan dasar untuk memetakan masalah-masalah anak di sekitar kita.
Nah, cobalah pelajari apa saja hak-hak anak yang diatur dalam instrumen dan
peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya, bandingkan dengan situasi
kehidupan anak-anak di desa anda. Apakah ada masalah-masalah anak? Apa saja
masalah-masalah yang mereka hadapi?
ANAK SEBAGAI PEMEGANG HAK
Anak, adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Ketentuan
yang tertuang dalam KHA, sudah diadopsi dalam berbagai peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
Tidak perlu khawatir bila di dalam kehidupan sehari-hari dijumpai adanya
perbedaan mengenai batasan atau pengertian tentang anak. Perbedaan ini
dilatarbelakangi oleh situasi sosial-budaya dan atau agama. Jadi, tidak perlu
dibenturkan.
Berdasarkan konsep dasar Hak Asasi Manusia, relasi yang diatur di dalam KHA
adalah antara Negara (pengelola negara) dengan anak. Hubungan ini memposisikan
Negara sebagai pemangku kewajiban dan Anak sebagai pemegang hak.
Sebagai pemangku kewajiban, Negara memiliki kewajiban untuk mempromosikan,
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Apabila negara tidak
melaksanakan kewajibannya, yakni: tidak melakukan tindakan atau melakukan
pembiaran pada saat negara harus melakukan tindakan atau melakukan tindakan pada saat negara
seharusnya tidak mengambil tindakan, maka negara dapat dianggap telah melakukan
pelanggaran terhadap hak anak.
Anak sebagai pemegang hak, memiliki hak-hak yang tidak bisa direnggutkan
oleh siapapun, harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Apa saja hak-hak yang
dimiliki oleh anak? Bila kita mengacu kepada KHA yang terdiri dari 54 pasal,
kandungan isinya dapat lebih mudah dipahami melalui pengelompokkan yang
dilakukan oleh Komite Hak Anak PBB. KHA dikelompokkan menjadi delapan
kluster/kelompok, yakni:
1. Langkah-langkah implementasi umum
2. Defisini anak
3. Prinsip Dasar
4. Hak Sipil dan Kemerdekaan
5. Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. kesehatan dan kesejahteraan dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan
Budaya
8. Perlindungan Khusus
NO.
|
URAIAN
|
PASAL
|
I.
|
Langkah-Langkah
Implementasi Umum
|
4
|
|
1. Pelaksanaan mengenai penyebarluasan KHA
|
42
|
|
2. Pelaksanaan mengenai penyebarluasan laporan
|
44 (6)
|
II.
|
Definisi
Anak
|
1
|
III.
|
Prinsip-Prinsip
Umum
|
|
|
1. Non-diskriminasi
|
|
|
2.
Kelangsungan
hidup dan perkembangan
|
6
|
|
3.
Penghargaan atas pendapat/pandangan anak
|
12
|
|
4.
Yang terbaik
untuk anak
|
3
|
IV.
|
Hak
dan Kemerdekaan Sipil
|
|
|
1. Nama dan kewarganegaraan
|
7
|
|
2. Pelestarian identitas
|
8
|
|
3. Kebebasan berekspresi
|
13
|
|
4.
Akses terhadap informasi yang layak
|
18
|
|
5.
Kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama
|
14
|
|
6. Kebebasan berserikat
|
15
|
|
7. Perlindungan atas kehidupan pribadi
|
16
|
|
8. Penyiksaan dan perampasan kebebasan, inhuman,
degrading treatment or punishment
|
37 (a)
|
V.
|
Lingkungan Keluarga dan
Pengasuhan Alternatif
|
|
|
1. Bimbingan orang tua
|
5
|
|
2. Tanggungjawab orang tua
|
18 (1-2)
|
|
3. Pemisahan dengan orang tua
|
19
|
|
4. Berkumpul lagi dengan keluarga
|
10
|
|
5. Pemulihan pemeliharaan anak
|
27 (4)
|
|
6. Anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga
|
20
|
|
7. Adopsi
|
21
|
|
8. Pemindahan ilegal dan terdampar di luar negeri
|
11
|
|
9.
Kekerasan dan penelantaran (19), termasuk pemulihan
fisik dan psikologis serta rintegrasi sosial (39)
|
19, 39
|
|
10. Peninjauan periodik atas penempatan
|
25
|
VI.
|
Kesehatan
dan Kesejahteraan Dasar
|
|
|
1. Kelangsungan hidup dan perkembangan
|
6 (2)
|
|
2. Anak penyandang cacat
|
23
|
|
3. Kesehatan dan pelayanan kesehatan
|
24
|
|
4. Jaminan sosial serta pelayanan dan fasilitas
perawatan
|
26, 18 (3)
|
|
5. Standart kehidupan
|
27 (1-3)
|
VII.
|
Pendidikan, Waktu Luang dan
Kegiatan Budaya
|
|
|
1.
Pendidikan, termasuk latihan dan bimbingan kejuruan
|
28
|
|
2. Tujuan pendidikan
|
29
|
|
3. Waktu senggang, rekreasi dan kegiatan budaya
|
31
|
VIII.
|
Langkah-Langkah
Perlindungan Khusus
|
|
|
1. Anak dalam situasi darurat:
(a) Pengungsi anak
|
22
|
|
(b) Anak dalam konflik bersenjata termasuk Pemulihan
fisik dan psikologis serta rintegrasi social
|
38, 39
|
|
2. Anak yang berkonflik dengan hukum
|
|
|
(a) Administrasi pengadilan anak
|
40
|
|
(b) Anak yang direnggut kebebasannya, termasuk segala
bentuk penahanan, pemenjaraan atau penempatan dibawah pengawasan
|
37 (b,c & d)
|
|
(c) Penetapan hukum terhadap anak, khususnya pelarangan
hukuman mati atau penjara seumur hidup
|
37 (a)
|
|
(d)
Pemulihan fisik dan psikologis serta reintegrasi sosial
|
39
|
|
3. Anak dalam situasi eksploitasi, termasuk
pemulihan fisik dan psikologis serta reintegrasi social
|
39
|
|
(a)
Eksploitasi ekonomi termasuk pekerja anak
|
32
|
|
(b) Penyalahgunaan obat bius
|
33
|
|
(c) Eksploitasi dan kekerasan seksual
|
34
|
|
(d) Bentuk-bentuk eksploitasi lainnya:
|
36
|
|
(e) Penjualan, perdagangan dan penculikan
|
35
|
|
4.
Anak kelompok minoritas dan masyarakat adapt
|
30
|
ANAK HARUS DILINDUNGI
Mengingat bahwa, sebagaimana dinyatakan dalam
Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1959,
“anak, berhubung ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, membutuhkan
perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum selayaknya,
sebelum dan sesudah kelahiran,”
Mengakui bahwa, di semua negara di dunia, terdapat
anak-anak yang hidup dalam kondisi yang sangat sulit, dan anak-anak seperti itu
membutuhkan perhatian khusus,
Memperhatikan, arti penting nilai-nilai
tradisi dan budaya dari setiap bangsa dari perlindungan dan pengembangan anak
yang harmonis,
(Mukadimah KHA)
Beberapa pernyataan di dalam Mukadimah KHA yang dikutip di atas, telah
menjelaskan alasan atau dasar tentang perlunya perlindungan terhadap anak-anak.
UUPA, pasal 1 ayat 2 memberikan pengertian tentang perlindungan anak sebagai segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. (UUPA, pasal 1 ayat 2)
Mengacu kepada pengertian di atas, perlindungan anak berarti tidak terbatas
pada melindungi anak dari ancaman kekerasan dan diskriminasi melainkan juga ada
tanggung jawab untuk memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan kapasitas
dirinya. Artinya ada proses
pendidikan bagi anak.
Mengacu kepada Pasal
19 Konvensi Hak Anak, perlindungan anak adalah hak anak untuk dilindungi dari:
·
Segala
bentuk kekerasan fisik maupun mental, dan luka (injury)
·
Penyalahgunaan
(abuse)
·
Penelantaran
(Neglect)
·
Perlakuan
penelantaran (neglient treatment)
·
Perlakuan
lalai (maltreatment)
·
Eksploitasi
termasuk penyalahgunaan seksual (sexual
abuse)
Pengalaman yang terjadi, pada awalnya, KPAD memfokuskan diri hanya merespon
masalah kekerasan terhadap anak. Perkembangan yang terjadi di berbagai desa,
memaksa KPAD untuk memberikan respon terhadap masalah-masalah anak yang lain,
terutama yang berhubungan dengan perlindungan khusus, terutama anak yang
berkonflik dengan hukum, anak korban penyalahgunaan Napza, dan anak korban
kekerasan seksual. Hal mana, ini masuk
kategori perlindungan khusus.
UUPA, Pasal 59 mengatur tentang perlindungan khusus yang meliputi:
·
anak
dalam situasi darurat;
·
anak
yang berhadapan dengan hukum;
·
anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi;
·
anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
·
anak
yang diperdagangkan;
·
anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza);
·
anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan;
·
anak
korban kekerasan baik fisik dan/atau mental;
·
anak
yang menyandang cacat; dan
·
anak
korban perlakuan salah dan penelantaran.
Tentu saja, perhatian utama diarahkan kepada masalah atau kelompok anak
yang menonjol yang digali secara bersama-sama, dengan tetap mencermati
masalah-masalah lainnya dengan melakukan langkah-langkah pencegahan agar
masalah-masalah tersebut tidak mengemuka.
Hal penting dalam upaya perlindungan anak, sesungguhnya, adalah bagaimana
mengembangkan perubahan mendasar bagi masyarakat untuk menciptakan situasi dan
kondisi kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak serta mendukung pengembangan
kapasitas anak agar dapat tumbuh sesuai dengan tingkat usia dan
perkembangannya.
Seorang aktivis Ornop yang selama ini intens mendampingi KPAD menyatakan
bahwa hak anak merupakan nilai-nilai baru yang harus dibumikan ke dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya KPAD harus mampu berperan sebagai
katalisator yang mendorong terjadinya perubahan di dalam masyarakat. Di dalam
hal ini, perubahan pandangan, sikap, dan tindakan-tindakan yang sensitif dan
ramah anak.
Pada praktek pengalaman kerja KPAD, kerapkali terjadi kesalahpahaman
masyarakat dalam meletakkan posisi perlindungan anak. Perlindungan dianggap
sebagai pembenaran bagi anak untuk melakukan tindakan apapun tanpa adanya
resiko untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya tersebut. Komentar yang
bermunculan lebih bernada kekhawatiran bahwa anak akan menjadi liar, bersikap
semaunya, dan membangkitkan keberanian untuk melawan orangtua. Di sisi lain,
terjadi pembiaran karena orangtua khawatir bila melakukan sesuatu akan
dipersalahkan dan dapat dilaporkan.
”Masyarakat merasa takut jika melakukan tindakan-tindakan tertentu akan
dilaporkan ke KPAD atau dapat tersangkut kasus hukum,” demikian dinyatakan oleh
pelaksana perlindungan anak Plan Kebumen.
Pemahaman demikian, tentu saja perlu diluruskan. Perlindungan anak bukan berarti melakukan
pembiaran. Jika anak melakukan kesalahan, anak dapat dikenai hukuman. Hanya
saja hukuman yang diberikan adalah penghukuman positif yang tidak menciderai
dan merugikan perkembangan kapasitas anak. Bila anak dibiarkan melakukan
kesalahan-kesalahan serupa tanpa adanya sikap dari orangtua, maka sesungguhnya yang
terjadi adalah kita telah melepaskan tanggung jawab. Ini akan merugikan
perkembangan kapasitas anak untuk berkembang lebih baik.
Jaman dulu anak belajar ya
dari hidup sehari-hari bersama kelompok masyarakat lain. Orang tua membimbing
anak langsung pada praktek, seperti dalam gotong-royong. (Sanmohari, 73 tahun, Pak Kaum Dusun Wanayasa,
Karangmaja)
Upaya perlindungan anak sebaiknya dilekatkan dengan pendidikan. Orangtua
dan masyarakat turut bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan bagi anak
dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Ada baiknya dicermati
tujuan pendidikan yang diatur dalam KHA, pasal 29 dan dipraktekkan pada proses
pendidikan yang tidak terbatas pada pendidikan formal atau sekolah, melainkan
pendidikan dalam kehidupan sehari.
Tujuan pendidikan dalam Konvensi Hak Anak
Pasal 29
1. Negara-negara Peserta
setuju bahwa pendidikan anak akan diarahkan kepada:
(a)
Pengembangan sepenuhnya potensi kepribadian, bakat serta kemampuan mental dan
fisik pada anak;
(b)
Pengembangan sikap hormat orang tua anak, identitas budaya, bahasa dan
nilai-nilainya, nilai-nilai nasional negara di mana anak tinggal, negara di
mana anak mungkin berasal, dan kepada peradaban yang berbeda dari peradabannya;
(c)
Persiapan anak untuk kehidupan
bertanggung jawab dalam masyarakat yang bebas, dengan semangat saling
pengertian, perdamaian, saling menghargai, kesetaraan antara jenis kelamin, dan
persahabatan antar bangsa, kelompok etnis kewarganegaraan dan agama serta
penduduk asli;
(d)
Pengembangan sikap hormat terhadap lingkungan alam.
*) bersambung.. edisi berikutnya "Tanggungjawab Masyarakat"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar